Sabtu, 29 Agustus 2015

Buku "Kearifan Lokal - Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan"

11898628_948997985122874_1381736813163557821_n

Armada Riyanto, dkk (ed.)
© 2015 Kanisius

Penerbit Kanisius
Anggota SEKSAMA Penerbit Katolik
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, Indonesia
Telelpon: (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349

Sampul Belakang:
Kearifan lokal, Pancasila, dan filsafat Keindonesiaan merupakan tema-tema yang menjadi kerinduan para penulis buku ini. Kami, para pembelajar yang tergabung dalam Asosiasi Filosof-filosof Katolik Indonesia (AFKI), sungguh mencintai “Keindonesiaan” dan berusaha menemukan pesan-pesan kearifannya untuk revitalisasi makna Pancasila, yang oleh Bung Karno disebut, perekat atau penjaga keutuhan bangsa Indonesia. Buku ini terdiri dari 35 esai filosofis, berasal dari berbagai “Kearifan Lokal” yang membentang luas dan indah di seluruh tanah Indonesia. Esai kedua sampai kedelapan mengurai kearifan lokal “Ketuhanan”; kesembilan – keempat belas, “Kemanusiaan”; kelima belas – kedua puluh satu, “Kebersatuan”; kedua puluh dua – kedua puluh enam, “Musyawarah dan demokrasi”; dan kedua puluh tujuh – ketiga puluh dua, “tata Keadilan”. Adalah harapan kami, semoga esai-esai ini menjadi “butir-butir emas” Filsafat Keindonesiaan. (Armada Riyanto, Ketua Asosiasi Filosof Katolik Indonesia)

Pancasila merupakan cita-cita bangsa Indonesia tentang masyarakat yang baik karena mengungkapkan nilai-nilai yang ingin direalisasikan dalam kehidupan bersama. Pancasila merupakan keharusan-keharusan bagi segala kebijakan politik. Pancasila adalah etika politik bangsa ini.” (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar STF Driyarkara, Jakarta)
Posted on August 27, 2015 in Buku

Menelisik Hasrat Bersama Thomas Hobbes

Ilustrasi Jurnal Lembaga Studi Terapan Filsafat - Tertib Lalu Lintas - Oleh Margiott
Seorang filsuf politik dari abad ke-17, Thomas Hobbes (1588-1679), mengajukan sebuah rumusan menarik tentang sifat dasar kekuasaan:
“Pertama-tama, saya tetapkan sebagai dorongan paling dasar semua manusia, yaitu hasrat terus-menerus (perpetual) dan tak kenal lelah (restless) untuk mengejar kekuasaan demi kekuasaan. Hasrat ini hanya akan berhenti dalam kematian.”[i]
Beberapa baris kemudian Hobbes melanjutkan:
“Sebab dari hasrat ini tidak lain karena manusia tidak dapat sepenuhnya menjamin keberlangsungan hidupnya saat ini (kuasa dan cara ia berkuasa) tanpa adanya dorongan untuk selalu mau memiliki lebih dari apa yang telah ia punya. Hukum adalah cara untuk menjamin keberlangsungan hidup itu di dalam wilayah kekuasaannya. Perang adalah cara untuk menjamin keberlangsungan hidup di luar wilayah kekuasaannya. Setelah itu semua tercapai, semua hasrat lain akan mengikuti satu demi satu, hasrat sensual, hasrat terkenal, hasrat dipuja, hasrat kesempurnaan, atau dalam diri sedikit orang termasuk juga hasrat berpikir.”[ii]
Thomas Hobbes mengajukan rumusan ini dalam bukunya yang terkenal hingga saat ini, yaitu Leviathan (terbit pada 1651). Dengan mengajukan rumusan di atas Thomas Hobbes sebenarnya telah menyingkapkan dua hal paling purba, dua hal paling naluriah, paling manusiawi, sekaligus juga paling fundamental yang telah selalu bermukim di dalam diri kita semua manusia, yaitu: 1) hasrat (desire), dan 2) kuasa (power).
Dua dorongan manusia paling purba, paling naluriah, paling manusiawi ini ternyata juga memiliki dua karakternya yang berbeda secara bersamaan: 1) karakternya yang destruktif, dan 2) karakternya yang konstruktif. Hasrat untuk terus melangsungkan hidup, terus menguasai sumber-sumber daya kehidupan dan terus mendapatkan lebih demi keamanan dirinya mendorong seseorang untuk berhadap-hadapan dengan orang lainnya, berkompetisi dengan setiap orang lain. Kompetisi adalah hasrat dasar dibalik seluruh proses gerak ekonomi. Kompetisi memungkinkan seseorang untuk menundukkan dan mengalahkan orang lain, yang dengannya terbentuklah proses kuasa dan saling menguasai (pakta dominasi). Di titiknya yang terjauh, kompetisi mendorong seseorang untuk melakukan satu hal yang sebenarnya juga sangat purba dan alamiah (telah menjadi bagian dari cara kerja alam), yaitu: membunuh menghabisi hidup nyawa orang lain dan makhluk lain. Inilah karakter destruktif hasrat dan kuasa manusia, sekaligus juga karakternya yang paling purba dan naluriah.
Tetapi Hobbes juga menyadari bahwa masyarakat tidak mungkin terbentuk di atas dasar dorongan destruktifnya. Pada batas tertentu setiap orang akan mencapai titik jenuh untuk saling mendestruksi. Di titik jenuh kompetisi inilah setiap orang menyadari bahwa masing-masing tidak mempunyai pilihan kecuali jika ia bekerja sama dengan manusia lain untuk menciptakan tatanan ruang bersama yang stabil dan dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Hasrat untuk bekerja sama dengan manusia lain untuk sama-sama mempertahankan keberlangsungan hidupnya inilah yang menciptakan adanya kontrak sosial. Kontrak sosial dibentuk di atas dasar karakter konstruktif hasrat manusia untuk menciptakan tatanan dan menjamin stabilitas.
Penjabaran Hobbes ini bukanlah suatu anjuran, bukan suatu resep/preskripsi normatif mengenai hidup bersama. Hobbes tidak lain memperlihatkan secara transparan anatomi sisi gelap diri manusia yang seringkali tidak kita sadari dan juga tidak ingin kita ketahui. Dengan membongkar gelap destruktifnya diri manusia Hobbes sebenarnya mengajukan satu hal yang sangat penting dalam setiap teori politik, yaitu: bahwa tatanan sosial-politik dapat terbentuk bahkan di atas dasar gelap, rakus, khéwan dan degilnya manusia.
Artinya, manusia sebetulnya tidak memerlukan justifikasi ilahi-metafisik atau landasan yang sungguh suci sempurna untuk memulai hidup bersama. Manusia dapat memulai, membangun, dan menjamin tatanan hidupnya persis justru karena ia adalah manusia yang akan selalu memiliki sisi gelapnya. Di kegelapan itu terpendamlah hasrat menggebu yang tanpa ampun untuk menguasai, hasrat untuk terus melangsungkan hidup dan kemakmurannya sendiri. Kejeniusan Hobbes terletak pada kenyataan bahwa ia dapat menunjukkan bagaimana hasrat egois anti-sosial manusia (yang ada dalam diri kita semua) ternyata dapat membawa pada hasrat politis untuk membentuk tatanan sosial bersama. Singkatnya, sosialitas tatanan hidup manusia ternyata dibentuk oleh hasrat anti-sosial dan hasrat egoistik-libidinalnya yang tergelap.
Tatanan sosial-politik manusia yang terhormat dan bermoral itu ternyata awalnya dibangun di atas dasar ketakutan manusia sendiri akan hasrat dirinya sebagai kawanan khéwan-khéwan rakus yang dapat membinasakan bahkan dirinya sendiri. Inilah sebuah realisme politik yang apa adanya, realisme politik yang menolak semua kemunafikan moralistik-legalistik yang cenderung menyamarkan hasrat gelap terpendam manusia. Di balik realisme politik itu berdiri sebuah tesis dasar mengenai syarat paling purba dari setiap tatanan politik: hasrat dan kuasa.
Pertanyaannya kemudian, apa perlunya repot-repot membaca dan memahami seorang filsuf penyendiri perantau yang hidup hampir empat abad lalu?
Jika kita mencoba membaca suasana-batin masyarakat kita, khususnya mereka di daerah-daerah rural, kawasan pinggiran kota, kawasan pegunungan dan pesisir, yang sering kurang diperhatikan, sebetulnya masyarakat telah lelah dengan segala tontonan para politisi, para birokrat, para akademisi, para pemimpin yang sebenarnya mempertontonkan persis apa yang telah dilukiskan dengan tepat oleh Hobbes, yaitu: menyamarkan hasrat gelap mereka untuk melangsungkan hidup dan kekuasaannya sendiri di dalam bahasa-bahasa moralistik-legalistik yang seolah-olah terurai tertata rapi apik.
Dalam apik rapi terdidiknya bahasa para pemimpin kita itu, mungkin kita dapat menerka adakah hasrat kuasa dan hasrat cari untung sendiri yang menggebu di dalamnya? Apakah jangan-jangan mereka para pemimpin, yang melalui mekanisme kontrak-sosial yang disebut demokrasi, sebenarnya telah memperoleh kepercayaan rakyat (kita semua) untuk menjamin tatanan hidup sosial-politik di Republik Indonesia, ternyata di kegelapan ruang batinnya tak lebih dari pemburu-pemburu rente (khéwan-khéwan yang gemar menerkam di kegelapan) yang tidak lain adalah kawanan rakus yang anti-sosial, anti-politik, dan anti-republik?
Dimana-mana di penjuru Republik ini kita melihat bagaimana proses kontrak-sosial yang kostruktif yang dinamakan demokrasi itu ternyata diperkosa dinodai oleh apa yang di media-media massa disebut sebagai ‘politik uang’. Apa yang sering kita lupa adalah politik uang itu digerakkan oleh mekanisme hasrat gelap diri manusia yang pada gilirannya kemudian akan menghancurkan ruang politik publik (res-publica) dan melumat ruang hidup bersama. Uang, di masa setelah bubarnya sistem sosialisme dan komunisme, menjadi kodifikasi universal dari satu-satunya sistem ekonomi-politik yang kita kenal sekarang: kapitalisme. Dan peredaran uang itu tidak lain dijamin oleh mekanisme produksi dan re-produksi yang tidak lagi terbatas pada tingkat komoditas riil, melainkan telah merembes ke tingkat yang paling pribadi dari manusia: hasratnya. Uang telah menjadi satu-satunya ukuran berhasil atau tidaknya hidup seseorang. Uang telah menjadi kuantifikasi hasrat pribadi manusia yang kualitatif. Dan hasrat-akan-uang itu kemudian bergerak menyamarkan dirinya dalam khotbah-khotbah mulia mengenai motivasi-diri, mengenai pencitraan-diri para tokoh yang semakin meng-inflasi pandangan masyarakat mengenai moralitas dan politik yang sehat.
Tidak ada yang sesat di dalam uang, sebab itulah representasi wajah asli manusia yang menampakkan hasratnya yang menggebu-gebu. Uang menjadi sesat saat ia menjadi politisasi atas hasrat-akan-uang. Uang menjadi sesat saat ia perlahan-lahan mulai menggerogoti sampai keropos tatanan sosial-politik yang seharusnya dapat menjamin stabilitas kontrak-sosial (demokrasi). Uang menjadi sesat saat ia (uang) merembes ke dalam transparansi proses politik publik lewat agen-agen uang yaitu para khéwan pemburu rente. Pada titik ini, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk melihat bagaimana suatu tatanan politik perlahan kembali jatuh ke dalam kompetisi hasrat dalam bentuknya yang purba: masyarakat yang mulai saling membinasakan diri dan sesamanya.
Kita dapat berkata bahwa efisiensi sistem adalah penyelesaiannya, atau bahwa Indonesia memiliki lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang akan memberangus para pemburu rente yang telah bersenyawa dengan para birokrat-politisi. Tetapi semua itu adalah penyelesaian (solusi) yang bersifat sistematik, legalistik, dan rasional. Apa yang sering terlupakan adalah fakta bahwa manusia (masing-masing kita) juga digerakkan oleh dorongan-dorongan hasrat yang irrasional dan seringkali liar. Tidak ada satupun sistem di jagad raya ini yang dapat sepenuhnya mengendalikan gerak (energeia) daya/kekuatan gelap yang bekerja di balik proses alam (dari tsunami, gempa bumi, letusan gunung, dll). Untuk manusia, daya gerak yang gelap dan sering kita sembunyikan itu tidak lain adalah hasratnya. Tidak ada sistem kontrak-sosial manapun yang dapat sepenuhnya mengendalikan daya gerak hasrat manusia. Ini artinya, solusi-solusi sistematik-legalistik seperti sistem hukum atau sistem trias politica tidak dapat sepenuhnya selamanya menjamin keberlangsungan tatanan hidup bersama. Sebabnya tidak lain karena sistem itu sendiri digerakkan oleh hasrat manusia, dan oleh karena itu juga dapat menjadi sarana untuk menyembunyikan atau melipatgandakan hasrat-hasrat gelap manusia.
Dalam Leviathan Hobbes berhasil menunjukkan satu syarat penting dari terbentuknya tatanan sosial-politik: manusia-manusia, yang seringkali putus asa dan seringkali juga berubah buas, hanya akan dengan sukarela menyerahkan sebagian kebebasannya dan menyediakan dirinya untuk diperintah serta dipimpin, jika dan hanya jika ia (mereka) yang diberi kepercayaan untuk menjamin kontrak sosial dapat sungguh-sungguh memanfaatkan kepercayaan itu untuk menciptakan/mempertahankan stabilitas tatanan hidup bersama. Artinya, manusia hanya bersedia dikuasai oleh kekuatan yang memang lebih superior dari dirinya sendiri. Tanpa jaminan itu, tatanan berubah menjadi perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes).
Dalam konteks Indonesia modern, kekuatan superior yang dapat menjamin tatanan hidup bersama itu tidak lain adalah Negara berikut sistem pemerintahan (struktur) dan para pemimpinnya (agen). Jika sistem pemerintahan (juga sistem hukum) adalah struktur normatif-legalistik yang memberi kaidah-kaidah hidup bernegara, maka para pemimpin adalah agen/subjek pelaku politik di tingkat struktural yang melegitimasi seluruh struktur sosial-politik. Tanpa legitimasi para subjek politik ini, seluruh legalitas kehilangan daya gebrak dan efektivitasnya.
Legitimasi politik yang mampu memfungsikan secara efektif seluruh struktur legal Negara hanya dapat muncul dari kemampuan para pemimpin untuk mentransformasi hasrat destruktif mereka untuk cari selamat sendiri ke dalam hasrat konstruktif untuk menciptakan tatanan politik yang sehat-transparan. Dalam sebuah struktur Leviathan yang diharapkan dapat menjamin kontrak sosial, pada batas tertentu masyarakat menantikan adanya subjek pelaku politik yang dapat mengambil tanggungjawab. Tanpa jaminan ini kedaulatan bergeser perlahan-lahan ke dalam kekacauan dan kebinasaan.
Mengikuti apa yang telah dikatakan Hobbes, sistem kontrak sosial yang muncul sebagai bentuk representasi dan otorisasi kekuasaan rakyat dalam sosok para pemimpinnya akan dengan sendirinya berhenti berfungsi sebagai kontrak sosial jika para pemimpin/pelaku politik tidak lagi dapat menjamin keselamatan dan keberlangsungan hidup rakyat yang dipimpinnya. Pada batas ini, hasrat konstruktif untuk memulai hidup bersama lewat sistem kontrak sosial yang disebut demokrasi akan dengan sendirinya berubah kembali menjadi hasrat destruktif untuk membinasakan orang lain demi keselamatan sendiri. Inilah kondisi asali (status naturalis/state of nature) yang akan selalu mengintai di batas terjauh segala tatanan sosial-politik. Pada titik ini Carl Schmitt, yang setia meneruskan realisme politik Hobbes, benar ketika mengatakan bahwa pada akhirnya: Kedaulatan adalah ia yang di atas segala pengecualian mampu memutuskan (Souveränität ist, wer über den Ausnahmezustand entscheidet).[iii] ***
[i] Thomas Hobbes, Leviathan, translated with an Introduction by C. B. Macpherson (Penguin Books, 1974), part I, chapter 11, pp. 160-161.
[ii] Ibid., p. 161.
[iii] Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Theory of Sovereignty (Cambridge: MIT Press 1986), p. 5.
[Naskah perkuliahan untuk Angkatan Pertama PCR UNHAN; Oleh Ito Prajna-Nugroho]
Ilustrasi Gambar oleh H. Margiott untuk Lingkar Studi Terapan Filsafat.

APA ITU FENOMENA?


Ito Prajna-Nugroho



Beberapa waktu lampau, di tengah pertemuan terbatas dengan para sahabat yang sibuk berpolitik dan berpikir, di tengah serunya tukar pikiran serta argumentasi mengenai berbagai tema filsafat politik dan kaitannya dengan tatanan geopolitik, seorang teman sekonyong-konyong bertanya kepada saya: “Mas, apa sebetulnya yang dimaksud dengan ‘fenomena’ dalam fenomenologi? Sebab sekarang, khususnya di media-media informasi, orang bisa sesukanya menyebut apa saja sebagai fenomena. Lalu apa sebetulnya ‘fenomena’?” Pertanyaan ini bagaikan siraman air dingin di tengah panas terik matahari, mengagetkan bahkan agak menjengkelkan tetapi justru menyadarkan.

Pertanyaan ini juga membawa saya kembali jauh ke belakang, ke tahun-tahun yang lampau, di saat saya yang ketika itu baru genap berusia 19 tahun memulai proses studi sebagai mahasiswa filsafat.

Di tahun-tahun awal menekuni filsafat itu, tidak boleh ada konsep atau istilah yang tinggal remang-remang tidak terjelaskan dalam ketidaktahuan dan kemalasan berpikir. Ketika itu Sang Profesor Filsafat menekankan kepada kami mahasiswanya bahwa filsafat pertama-tama adalah suatu disiplin dalam berpikir, dan sebagai disiplin filsafat menuntut kerja keras untuk berpikir sesuai standar metodologi filosofis yang rigor (ketat) dan dapat dipertanggungjawabkan oleh nalar. Dalam konteks itu, ditekankan lagi oleh Sang Profesor yang ketika itu berusia 70 tahun, filsafat adalah musuh utama bagi setiap kegenitan intelektual! Kata-kata yang kuat dan dipraktikkan sendiri oleh Sang Profesor itu bergaung terus di benak kami mahasiswa. Inilah sebabnya mengapa setiap istilah dan konsep filosofis perlu dapat dijelaskan secara jelas terpilah-pilah, dan dalam alur argumentasi yang disiplin, koheren, serta komprehensif. Pertanyaan teman yang datang sekonyong-konyong itu menyadarkan pentingnya kembali ke hal-hal dasar – persisnya prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai dasar – yang sering terlupakan begitu saja, atau bahkan justru tidak pernah terpikirkan sama sekali.

Di Indonesia, satu dari sekian banyak kesulitan dalam membahas filsafat pada umumnya, dan fenomenologi pada khususnya, adalah dunia akademik dan khalayak publik yang masih asing dengan filsafat serta sejarah filsafat sebagai suatu kajian ilmu yang menuntut rigoritas tersendiri. Di Indonesia, seorang dosen filsafat atau orang yang mengaku ahli filsafat seolah diandaikan bisa membicarakan apa saja, dan seringkali memang publik menuntutnya untuk bisa membicarakan segala hal! Tanpa ketahanan dan kesadaran pribadi setiap filsuf atau ahli filsafat di Indonesia berada dalam bahaya bergeser peran menjadi tukang jual obat. Lebih parah lagi, pembicaraan mengenai filsafat, dan fenomenologi khususnya, mudah bergeser menjadi gosip mengenai klenik dan berbagai hal lain yang sulit dipertanggungjawabkan oleh daya nalar.

Entah mengapa dalam alam pikir orang Indonesia kata fenomena sering terasosiasikan dengan hal-hal klenik, penampakan-penampakan supra-nalar (bahkan anti-nalar), hal-hal fiktif-mitologis, dan hal-hal lain yang dianggap spektakuler atau populer. Tentu saja hal-hal itu memiliki ruang hidup dan kegunaannya sendiri, tetapi filsafat pastilah tidak berurusan dengan semua hal-hal yang berada di luar batas pertanggungjawaban nalar tersebut. Rigoritas berpikir dan disiplin filosofis rupanya masih menjadi hal asing dan langka dalam mentalitas khalayak kita. Padahal dalam kehidupan sosial, filsafat sebagai disiplin berpikir yang rigor dan metodologis secara konkret memiliki peran vital yang tanpanya suatu masyarakat akan sulit berjarak dari dirinya sendiri dan mudah terombang-ambing ke sana kemari tanpa tujuan. Sebagaimana pernah diungkapkan seorang profesor filsafat di tahun 1978:

“Filsafat adalah suatu disiplin ilmiah yang bertugas untuk membuat kita dapat memahami implikasi-implikasi dari segala gejala yang setiap hari membanjiri, agar kita dapat menilainya, mengritiknya, menemukan jarak dan dapat mengambil sikap terhadapnya. […] Di Indonesia pun kita semakin sadar akan sifat ideologis yang terselubung di belakang pragmatisme pendekatan teknokratis dan apa yang disebut depolitisasi. […] Filsafat macam itu bukanlah suatu lux (kemewahan) dalam masyarakat, melainkan suatu keharusan. Apakah kita mau dengan mata buta membebek saja di belakang sesuatu yang oleh para tukang jual Rinso dan Lemonpledge ditawarkan sebagai kemajuan? Dengan mengotori sungai-sungai dan lautan kita, merusak lingkungan alam dan manusia, menjebol akar-akar kesosialan manusia dan membuang mereka sebagai individu telanjang ke aspal jalan-jalan di kota-kota besar?”

Dalam kajian filsafat fenomenologi beserta semua turunannya, seperti fenomenologi eksistensial, fenomenologi agama, fenomenologi kebudayaan, fenomenologi politik, fenomenologi arsitektur, dsb, kata fenomena (akar kata Yunaninya: phainō atau phainetai /φαίνω / φαίνεται) merupakan batu penjuru yang menetapkan dasar bagi seluruh kajian fenomenologi. Tanpa kejelasan dan ketepatan pemahaman akan konsep kunci tersebut niscaya seluruh pemahaman kita akan fenomenologi menjadi salah kaprah. Padahal Edmund Husserl, sang penggagas fenomenologi, sejak awal terbitnya buku monumental Logische Untersuchungen (1900/01) yang menginisiasi seluruh program fenomenologi, memaksudkan fenomenologi sebagai kajian metodologis yang ketat (rigor) mengenai hakikat (esensi) kesadaran dan cara bagaimana segala hal dapat tertampakkan bagi kesadaran. Segala hal yang tampak bagi kesadaran melalui caranya yang khas, itulah yang sesungguhnya disebut sebagai fenomena.

Berangkat dari pengertian ini fenomenologi bermaksud untuk menyelidiki secara ketat dan metodologis bagaimana sesuatu (fenomena yang tampak bagi kita itu) dapat kita persepsi, kita alami, kita ketahui kita tafsirkan, kita hayati, dan kita maknai melalui medium yang khas manusia. Medium yang khas manusia itu tidak lain adalah kesadaran kita yang melaluinya kita menyadari-diri dan menyadari adanya dunia serta manusia lain. Apa yang hendak disingkapkan di balik proses kerja metodologis ini tidak lain adalah relasi mendasar antara kita (manusia) dan dunia.

Persoalannya, dalam disiplin metode fenomenologi, tidak semua hal dapat dikelompokkan ke dalam kategori fenomena. Mengenai persoalan ini, kita perlu menyimak kata-kata Emmanuel Levinas dalam sebuah karya filosofisnya yang sangat bagus tentang fenomenologi Husserl, berjudul En découvrant l’existence avec Husserl (Mengungkap Eksistensi bersama Husserl / 1967):

“Fenomenologi berarti ilmu tentang fenomena. Segala yang terberikan, tertampakkan, atau tersingkapkan bagi pandangan kita adalah fenomena. Tetapi dengan itu apakah berarti segala sesuatu adalah fenomena dan setiap ilmu adalah sebuah fenomenologi? Tidak sama sekali. Apa yang terberikan bagi kesadaran, obyek atau sesuatu itu, hanya dapat dikatakan sebagai fenomena jika orang yang bersangkutan merengkuh sesuatu itu lewat peran yang dimainkannya dan lewat fungsi yang dijalankannya dalam hidup pribadi dan afektif orang tersebut. Di luar itu, sesuatu atau obyek tadi tidaklah lebih dari abstraksi yang arti, daya cakup, dan bobotnya lolos dari pemahaman kita. Sebuah penafsiran filosofis yang dikonstruksi, pemahaman yang ditempelkan dari luar, telah mengkhianati arti sesungguhnya dari sesuatu atau obyek itu. Konstruksi membuyarkan fenomena.

Untuk menyelamatkan fenomena, fenomenologi dipandu oleh keyakinan bahwa makna akhir dan makna filosofis dari suatu fenomena dapat dicapai hanya jika kita meletakkannya kembali ke dalam ruang hidup kesadaran, ke dalam apa yang individual dan tidak terbagi dalam cara berada (eksistensi) kita yang konkret. Tentu saja hal ini membalik seluruh pendekatan/sikap ilmiah yang naturalistik.”

Tidak mudah memang memahami langsung arti kata-kata Levinas tersebut. Namun Levinas berhasil merumuskan secara ringkas, tanpa kekurangan bobot kualitas pemahamannya, apa yang oleh Husserl dimaksud sebagai fenomena.

Untuk lebih memahami apa yang telah dirumuskan dengan bagus oleh Levinas, dan untuk lebih memahami arti konsep fenomena, perlulah kita kembali kepada pemikiran Husserl sendiri. Dalam naskah akademis yang dibawakan di Amphithéatre Descartes, Universitas Sorbonne, Prancis, pada 23 dan 25 Februari 1929, dan diterbitkan dalam bahasa Prancis pada 1931, Husserl mengatakan:

“Hidup yang disadari (hidup kesadaran) bukan hanya terdiri dari kumpulan ‘data’ kesadaran yang dapat dianalisa […] melainkan dalam ciri khasnya sebagai kesadaran intensional merupakan sebuah penyingkapan atas potensi-potensi yang implisit terkandung dalam aktualitas kesadaran, sebuah penyingkapan yang membawa bersamanya sebuah pengungkapan, sebuah kejelasan atau keterbukaan pemahaman atau pembedaan yang jelas terpilah, mengenai apa yang disadari (makna obyektif) dan juga mengenai proses intensional yang memungkinkannya. Telaah intensional dipandu oleh prinsip dasar bahwa sebagai kesadaran, setiap cogito terarah kepada sesuatu, tetapi juga setiap saat sesuatu yang kepadanya cogito terarah itu selalu mengandaikan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dari apa yang sekadar tertampakkan. Persepsi kita, dalam setiap momennya, selalu hanya mempersepsi satu sisi saja dari sebuah obyek yang kepadanya kita terarahkan. Sementara intensionalitas selalu merupakan keterarahan yang melampaui dirinya sendiri, dan secara implisit menjadi ciri dasar setiap kesadaran. Intensionalitas selalu mengandaikan sesuatu yang lebih dari apa yang tertampakkan, dan memperoleh bentuknya dalam kemungkinan-kemungkinan persepsi, pemahaman, dan proses ingatan yang terus menerus (tak terbatas) yang dapat diaktualisasikan melalui inisiatif saya.”

Kutipan ringkas di atas, yang memang tidak mudah, dapat memandu kita memahami beberapa hal dasar mengenai arti fenomena dalam fenomenologi. Yang pertama mengenai arti obyek dalam kaitannya dengan intensionalitas kesadaran. Yang kedua mengenai intensionalitas kesadaran dalam kaitannya dengan konsep fenomena. Yang ketiga mengenai persepsi dalam kaitannya dengan fakta atau data persepsi. Maka sebetulnya ada tiga hal dasar yang perlu kita bedakan satu dengan yang lain, dan memang secara mendasar berbeda satu sama lain yaitu: obyek, fenomena, dan fakta.

Kita mulai dari yang pertama yaitu perihal arti obyek dalam kaitannya dengan intensionalitas kesadaran. Sebagaimana dinyatakan Husserl dalam kutipan di atas, kesadaran kita bukanlah sekadar tumpukan data yang masuk begitu saja ke dalam pikiran atau ingatan, layaknya file-cabinet yang menyimpan berbagai data dokumen. Pertanyaan Husserl adalah mengapa data-data yang dihasilkan dari persepsi dan pengalaman itu dapat kita pahami sebagai suatu data (sebagai sesuatu) daripada tidak sama sekali? Apa yang memungkinkannya? Pertanyaan ini membawa pada satu konsep penting dalam fenomenologi, yaitu intensionalitas atau kesadaran yang telah selalu mengarahkan-diri kepada sesuatu.

Dengan intensionalitas mau ditunjukkan tiga hal pokok:

1) Kesadaran tidak pernah tertutup, melainkan selalu bersifat terbuka dan keterarahannya tidak terbatas. Artinya, kesadaran telah selalu mengandaikan sesuatu yang lain selain dirinya sendiri, dan kemampuan kesadaran untuk memahami segala yang lain itu juga selalu terbuka kepada kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas;

2) Manusia telah selalu berada dalam relasi yang tertentu dengan obyek (dalam arti luas: dunia);

3) Relasi yang tertentu dengan dunia ini dapat meluas atau menyempit, membuka atau menutup, sesuai dengan kemampuan setiap manusia untuk menyadari kemungkinan-kemungkinan (potensialitas) arah kesadarannya.

Bagi Husserl, intensionalitas ini adalah cara kerja kesadaran yang paling mendasar dan paling hakiki, yang tanpanya kesadaran manusia bukanlah kesadaran. Dalam fenomenologi, intensionalitas merupakan ontologi fundamental yang niscaya ada sebelum segala persepsi, pengalaman, dan pengetahuan. Intensionalitas mendefinisikan cara berada manusia sebagai manusia.

Kesadaran yang telah selalu mengarahkan-diri kepada sesuatu ini dengan demikian juga telah memuat isi atau obyeknya yang tertentu. Persoalannya, apa yang dimaksud dengan obyek dalam fenomenologi tidak terbatasi hanya pada obyek-obyek kebendaan. Obyek memiliki arti yang jauh lebih luas dari sekadar benda-benda material. Apa saja secara tidak terbatas bisa menjadi obyek kesadaran, dari apa yang memang senyatanya ada (hal-hal material konkret) hingga ke konsep-konsep abstrak yang hanya dapat dipikirkan (konsep filosofis seperti ‘kebaikan’, ‘ketuhanan’, ‘Ada’, dsb, atau persamaan-persamaan geometris matematis), atau juga hal-hal yang tidak pernah dan tidak akan pernah ada (fantasi fiktif).

Yang pertama menunjuk kepada kapasitas persepsi inderawi kesadaran, yaitu kemampuan kesadaran untuk secara langsung bersentuhan dan menyerap realitas inderawi. Yang kedua menunjuk kepada kapasitas konseptual dan intelektif kesadaran, yaitu kemampuan kesadaran untuk secara langsung membentuk gambaran-gambaran (visualisasi) konsep dan gagasan. Yang ketiga menunjuk kepada kapasitas memorial dan imaginatif kesadaran, yaitu kemampuan kesadaran untuk menyusun ingatan, memanfaatkannya, dan membentuk gambaran-gambaran berbagai hal yang tidak mempunyai rujukan langsung dalam dunia nyata.

Kekhasan dari kapasitas perseptual dan konseptual kesadaran (1 dan 2) adalah cara kerjanya yang bersifat presentatif, yaitu kesadaran secara langsung menghadirkan sesuatu (obyeknya) bagi subyek. Kekhasan dari kapasitas memorial dan imaginatif (3) adalah cara kerjanya yang bersifat re-presentatif, yaitu kesadaran secara tidak langsung menghadirkan kembali sesuatu (obyeknya) bagi subyek dalam bentuk yang tidak lagi asali (original) dan telah termodifikasi. Kedua cara kerja kesadaran dalam menghadirkan obyek ini (presentatif dan representatif) selalu bekerja secara bersamaan di dalam kesadaran kita setiap saatnya. Keduanya tidaklah terpisahkan, namun dapat dibedakan satu dengan yang lain. Sebagaimana dapat dicermati dari naskah yang ditulis Husserl sebagai bahan kuliah seminar di Universitas Göttingen tahun 1907:

“’Melihat’ (kemampuan penglihatan kita) dapat meluas melampaui keterbatasan momen kekinian/saat ini, dan dapat menjangkau secara intensional, dalam rangkaian yang terus menerus, apa yang tidak ada dan tidak lagi ada dan memastikan bahwa yang tidak ada itu terberikan bagi kesadaran melalui caranya sendiri yang tidak terbantahkan. Maka perlulah kita membedakan di satu sisi adanya obyek yang kini ada dan dapat tidak lagi ada, dan di sisi lain adanya fenomena kekinian dan keberlaluan masa yang lampau, fenomena durasi dan perubahan, yang dari waktu ke waktu selalu kita alami sebagai ke-sekarang-an / masa kini. Dalam kategori fenomena itulah, dalam segala derajat gradasi dan keberlanjutannya, cara berada kita yang mewaktu menjadi tertampakkan dan hadir tidak terbantahkan. Obyek bukanlah fenomena, dan tidak semua obyek dapat direduksi ke dalam fenomena. Tetapi meskipun demikian setiap obyek dikonstitusi di dalam fenomena (sebagai fenomena), yang melaluinya obyek hadir dan terberikan bagi kesadaran sebagai sesuatu yang ada di sana.”

Kutipan Husserl di atas semakin memperjelas bahwa apa yang dimaksud dengan obyek dalam fenomenologi tidak terbatasi oleh kategori benda-benda material dan melampaui masa kini. Kutipan Husserl tersebut juga membawa kita masuk ke dalam pokok pembahasan kedua yang paling penting, yaitu arti fenomena.

Sebagaimana dapat kita baca dalam naskah Husserl, obyek bukanlah fenomena dan tidak semua obyek dapat dikategorikan sebagai fenomena. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Levinas sebagaimana dikutip sebelumnya bahwa tidak semua hal, tidak semua obyek, bisa disebut sebagai fenomena. Namun demikian, jika mengikuti alur penjelasan Husserl, agar obyek dapat terpahami sebagai obyek maka obyek (sesuatu) tersebut perlu dikonstitusi terlebih dahulu sebagai fenomena. Dengan kata lain, fenomena adalah syarat kemungkinan atau pengandaian dasar yang harus diandaikan terlebih dahulu agar kesadaran dapat memahami sesuatu sebagai obyek. Fenomena merupakan syarat kemungkinan pemahaman yang melaluinya kita dapat memahami dunia. Bagaimana hal ini bisa dipahami dan dijelaskan lebih jauh?

Penjelasan sederhananya mungkin bisa dijabarkan sebagai berikut. Dalam pengalaman sehari-hari kita selalu dikelilingi dan dilingkupi oleh berbagai macam hal disekitar kita. Melalui persepsi inderawi kita bersentuhan dengan hal-hal di sekililing kita itu, baik kita sadari ataupun tidak (spontan). Berbagai hal di sekeliling kita itulah dunia obyek yang membentuk realitas perseptual di sekitar kita, atau dalam bahasa Husserl disebut sebagai dunia di dalam jangkauan kita (umwelt). Dari semua obyek yang melingkupi kita itu tidak semuanya dapat kita persepsi dan tidak semuanya kita pahami. Inilah mengapa kesadaran kita akan obyek pertama-tama selalu bersifat perspektif, yaitu kita pertama-tama pastilah mengalami sesuatu dari sisi persepsi dan sisi pemahaman yang tertentu. Tidak mungkin kita secara serentak dapat mempersepsi keseluruhan obyek. Apalagi obyek-obyek material di sekeliling kita bersifat kontigen, yaitu dapat ada tetapi dapat juga tidak ada, terus menerus berubah setiap saatnya. Sementara obyek-obyek konseptual dan imaginatif juga terus-menerus mengalir di dalam benak kita.

Sifat kontigen obyek ini, dan juga ciri perspektif kesadaran, dua hal inilah yang menyebabkan mengapa dunia obyek memberikan bagi kita cakrawala kemungkinan persepsi dan pemahaman yang tidak terbatas. Artinya, kita selalu dapat mempersepsi suatu obyek dari sisi lainnya yang berbeda, dan kita akan selalu dapat mengganti sudut persepsi kita. Maka akan selalu terdapat beragam kemungkinan sudut pandang terhadap sebuah obyek yang sama. Inilah juga mengapa persepsi dan pemahaman kita atas dunia di sekitar kita (umwelt) ditandai oleh satu ciri penting, yaitu selalu bersifat tematis. Tematis artinya bahwa obyek-obyek di dalam jangkauan persepsi kita selalu hadir bagi kesadaran sebagai sesuatu yang kita hadapi dan kita alami secara khas menurut perspektif pengalaman kita yang tertentu. Dari sekian banyak obyek di sekitar kita hanya obyek-obyek yang memiliki relevansi dengan keberadaan kita sajalah yang menjadi fokus perhatian atau kepedulian kita. Sebuah pohon belimbing di pekarangan rumah mungkin tidak berbeda dengan pohon belimbing di tempat lain, namun pohon belimbing di pekarangan rumah itu mungkin memiliki arti lebih bagi keluarga penghuni rumah karena konstitusi pengalaman masa lalu yang khas yang dimiliki keluarga tersebut. Demikian juga berbagai hal di sekitar kita, seperti buku, gelas, meja, kursi, mobil, motor, masa lalu, peristiwa, dsb, termasuk juga endapan ingatan dalam kesadaran kita beserta imajinasi yang ditimbulkannya, semua obyek itu hadir bagi kita menurut cara yang khas bagi kita.

Martin Heidegger akan menyebut relasi dengan dunia keseharian di sekitar kita itu sebagai relasi yang ditandai oleh ‘suasana hati’ (Stimmung / mood). Husserl menyebut relasi dengan umwelt itu sebagai karakter dasar intensionalitas, atau yang disebut juga sebagai Erlebnis / lived experience (pengalaman yang dihayati/memiliki arti khusus bagi subyek). Maka jelas bahwa setiap obyek sebelum ia disadari sebagai obyek pada dirinya (in itself), terlebih dahulu obyek itu niscaya berelasi dengan subyek kesadaran sebagai obyek bagi diriku atau orang yang tertentu (for me). Inilah ciri pokok dari intensionalitas kesadaran yang mendahului segala aktivitas pengetahuan dan metode ilmiah. Dalam Cartesian Meditations dapat kita baca:

“Dunia, beserta segala obyeknya, memperoleh seluruh makna dan status keberadaannya dari, dan hanya dari, kesadaran-diri sebagai Ego transendental sebagai syarat kemungkinannya. […] Namun dalam kaitan ini perlulah diperhatikan hal berikut ini: Ego yang telah melalui reduksi fenomenologis itu bukanlah sekadar bagian kecil dari dunia (layaknya benda-benda), sebaliknya juga, dunia beserta segala obyeknya bukanlah sekadar bagian kecil dari Ego kesadaranku (layaknya paham Idealisme). […] Meskipun tetap perlu diingat bahwa status validitas dari adanya sesuatu hanya dapat berasal bukan dari sesuatu itu sendiri, melainkan dari kesadaran akan sesuatu itu.”

Kutipan di atas kiranya semakin memperjelas arti fenomena dalam kaitan/perbedaannya dengan obyek. Obyek, apapun itu, secara tidak terbatas merupakan semesta dunia tersendiri yang kepadanya kesadaran terarah. Semesta obyek ini membentuk saling-keterkaitan di antara realitas obyektif yang tidak terbatas (Sachverhalt), yang membentuk juga horizon pengalaman dan horizon pemahaman kita. Obyek bukan atau belumlah merupakan fenomena. Bagian, sisi, atau dimensi tertentu dari obyek yang hadir bagi kesadaran dan dipersepsi menurut konstitusi pemahaman dan pola penghayatan yang partikular, itulah fenomena. Obyek pada dirinya sendiri tidak mensyaratkan adanya intensionalitas kesadaran, sebab setiap obyek dapat ada ataupun tidak ada secara kontigen. Fenomena, sebaliknya, baru dapat disebut sebagai fenomena jika mengandaikan adanya keterarahan kesadaran pada suatu obyek, yang melalui keterarahan itu obyek memberikan diri (menghadirkan diri/menampakkan diri) sebagai sesuatu yang memiliki arti tertentu bagi orang bersangkutan. Fenomena selalu terkait secara mendasar dengan kesadaran. Setiap kesadaran-akan-sesuatu sebetulnya juga merupakan sebuah bentuk fenomena.

Perlu diingat bahwa fenomena, sebagaimana kesadaran, selalu merupakan sebuah perspektif dan karena itu selalu bersifat partikular. Namun demikian, seperti telah kita lihat sebelumnya, setiap fenomena selalu memuat sesuatu yang lebih dari apa yang tertampakkan hic et nunc. Oleh karena setiap fenomena mengandaikan adanya sesuatu yang lebih di belakangnya, sesuatu yang melampaui apa yang tertampakkan, maka fenomena selalu mengarahkan kesadaran kita kepada keseluruhan / keutuhan obyek. Bagian demi bagian, sisi demi sisi, lapis demi lapis fenomena merupakan tanda yang tertampakkan dari keseluruhan obyek yang belum sepenuhnya tertampakkan atau terpahami.

Namun demikian, kesadaran sebetulnya sejak awal telah selalu mengantisipasi obyek dalam keutuhan/keseluruhannya, yaitu dengan membentuk gambaran mental-konseptual mengenai keseluruhan suatu obyek. Saat melihat sisi depan sebuah rumah misalnya, kesadaran kita selalu sudah membentuk gambaran mental-konseptual mengenai bentuk keseluruhan rumah dari segala sisinya yang tiga dimensi itu. Hal yang sama berlaku jika kita menghadapi obyek-obyek lain, mengalami suatu peristiwa, memahami konsep-konsep filsafat, memecahkan persamaan matematis yang sulit, berjumpa dengan orang lain, dan sebagainya. Gambaran mental-konseptual yang terbentuk dalam kesadaran mengenai keseluruhan/keutuhan suatu obyek, inilah yang disebut sebagai intuisi (Wesenanschauung). Mengacu pada contoh di atas, jika kita memasuki pintu depan rumah tersebut, dan ternyata kita menemukan diri kita berdiri di tengah hamparan lapangan, dan bahwa sisi depan rumah tersebut hanyalah papan yang digunakan untuk keperluan pentas teater, maka intuisi kita disebut sebagai intuisi kosong (empty intuition). Sebaliknya, jika kita memasuki pintu depan rumah tersebut, dan menemukan bahwa rumah itu memiliki berbagai ruang di dalamnya, berbagai sisinya yang lain yang berdimensi tiga menyerupai gambaran mental-konseptual kita, maka intuisi kita disebut sebagai intuisi yang terpenuhi (fulfilled intuition).

Dengan demikian, jika persepsi menunjukkan sifat perspektif kesadaran di hadapan suatu fenomena menurut bagian atau sisinya yang tertentu, maka intuisi menunjukkan sifat antisipatif kesadaran dalam melihat, mengalami, dan memahami suatu fenomena sebagai suatu keseluruhan. Maka jelaslah bahwa fenomena hanya dimungkinkan sebagai fenomena melalui intensionalitas kesadaran yang memuat di dalamnya baik persepsi maupun intuisi sebagai akses langsung yang kita miliki menuju kepada sesuatu dalam keseluruhan dan keutuhannya. Maka semboyan terkenal fenomenologi, yaitu zu den Sachen selbst (to the things themselves) bukan berarti kembali kepada fakta-fakta bendawi dan inderawi semata, melainkan lebih mendasar dari itu adalah kembali kepada fenomena itu sendiri sebagaimana menampakkan diri/menghadirkan diri bagi kesadaran melalui caranya yang khas. Sebab fenomena adalah akses utama kesadaran kita terhadap suatu obyek, apapun itu. Sesuai dengan tujuan semboyan ini, melalui analisis atas fenomena hendak diungkapkan tiga hal pokok: 1) struktur konstitutif yang membangun kesadaran kita sendiri (dalam fenomenologi disebut sebagai kesadaran-diri transendental), 2) struktur dasar yang mendasari adanya suatu obyek dan menopang keberadaan obyek tersebut, 3) dimensi menyeluruh dari obyek yang bersangkutan.

Bagi fenomenologi, ketiga hal inilah yang menyatukan kesadaran diri kita dengan dunia yang melingkupi kita, mengikat apa yang internal dan apa yang ekternal, menengahi apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Tanpanya kesadaran tidak lebih dari materialitas dunia yang terfragmentasi ke sana kemari bersama dengan cepatnya perubahan struktur dunia obyek material, atau tidak lebih atom yang tidak mampu keluar dari keterbatasan dirinya dan terpenjara di dalam dirinya sendiri.

Persis inilah kritik fenomenologi terhadap saintisme dan naturalisme. Dengan membatasi obyek hanya pada fakta-fakta kasatmata (material) yang dapat dipersepsi lewat penginderaan dan metode sains, ilmu-ilmu modern telah menjatuhkan status dunia ke dalam fakta telanjang belaka, dan menjatuhkan status kesadaran semata-mata ke dalam kondisi alamiah-instingtif yang tidak berbeda dari benda-benda serta makhluk-makhluk alam lain. Relativisme dan nihilisme adalah konsekuensi niscaya yang muncul. Padahal dari pembahasan perihal fenomena di atas, kita memahami bahwa analisis atas fenomena mengandaikan peran kesadaran dalam segala kedalamannya, dan status obyek dalam segala keluasannya. Sementara fakta adalah obyek yang dibatasi semata-mata ke dalam satu aspeknya saja, atau lebih tepatnya, satu sisi obyek yang dimutlakkan sebagai menyeluruh. Dengan memutlakkan apa yang faktual maka satu sisi obyek telah disalahpahami sebagai keseluruhan. Padahal fakta itu sendiri akan niscaya berubah-ubah bersama dengan berubahnya struktur obyek. Karena alasan inilah maka Husserl menegaskan bahwa seluruh pendekatan ilmu-ilmu alam adalah naif sifatnya. Naif sebab menyalahpahami perbedaan dasar antara fakta (satu sisi obyek) dan fenomena (obyek bagi kesadaran). Sebagaimana dapat kita baca:

“Berkaitan dengan titik tolaknya, seluruh ilmu alam adalah naif. Apa yang hendak diselidikinya semata-mata ada di sana. Tentu saja apa yang ada itu meliputi berbagai hal, sebagaimana ada yang diam, ada yang bergerak, ada yang berubah, ada di dalam ruang yang tidak terbatas, ada di dalam waktu yang tidak terbatas. Kita memahami semua itu, menjabarkannya, semata-mata lewat cara kerja empirik yang sederhana. Inilah tujuan ilmu-ilmu alam […] Padahal, segala hal fisik tidaklah begitu saja dapat membentuk dunia bagi dirinya sendiri. Segala hal fisik itu pertama-tama terberikan bagi kesadaran, atau sebagai pengalaman-akan-kesadaran. Kenyataan ini sesungguhnya juga merupakan data awal yang membuktikan dirinya sendiri.”

Hilangnya prioritas kesadaran dalam cara kerja ilmu-ilmu modern inilah yang mendasari penegasan Husserl bahwa seluruh ilmu alam adalah naif. Akibat dari hilangnya kesadaran dalam cara kerja ilmu adalah terjadinya pemutlakkan obyektivitas faktual yang sebetulnya tidak pernah sungguh-sungguh obyektif, melainkan selalu mengandaikan inter-subyektivitas kesadaran. Kenaifan inilah yang kemudian menyebabkan munculnya keterputusan/patahan antara metode ilmu sebagai sebuah alat kerja dan manusia yang berkepentingan terhadap alat kerja tersebut. Dalam naskah yang ditulis Husserl menjelang akhir hidupnya, patahan inilah yang menjadi sumber hilangnya keseimbangan antara manusia dan dunianya, antara dunia fakta-fakta dan bagaimana kesadaran memahami fakta-fakta tersebut. Keterputusan atau patahan di antara manusia dan dunia itulah yang disebut Husserl sebagai ‘krisis’. Berbagai bencana kemanusiaan, alam, dan teknologi yang pernah, sedang, dan akan terjadi adalah konsekuensi logis yang muncul dari krisis tersebut.

Tentu saja fenomenologi bukannya menolak segala bentuk pendekatan faktual. Faktanya, fenomenologi sendiri bertolak dari faktualitas obyek dan untuk itu juga mengacu kepada pendekatan faktual. Apa yang dipersoalkan oleh fenomenologi bukanlah fakta itu sendiri, melainkan kesalahpahaman dalam memahami fakta sebagai kebenaran akhir dan satu-satunya kriteria ilmiah. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana fenomenologi, sebagaimana diinisiasi oleh Husserl, mampu menerobos proses penyempitan cara berpikir/kesadaran manusia-manusia kontemporer yang lewat perkembangan teknologi dan globalisasi telah menggejala secara massif?

Untuk kita di Indonesia, mungkin kita bisa mulai merenungkan kembali kata-kata seorang profesor filsafat, yang di tahun 1978 telah jauh-jauh hari menekankan pentingnya ilmu filsafat (dan fenomenologi) sebagai kesadaran kritis:

“Filsafat adalah suatu disiplin ilmiah yang bertugas untuk membuat kita dapat memahami implikasi-implikasi dari segala gejala yang setiap hari membanjiri, agar kita dapat menilainya, mengritiknya, menemukan jarak dan dapat mengambil sikap terhadapnya. […] Di Indonesia pun kita semakin sadar akan sifat ideologis yang terselubung di belakang pragmatisme pendekatan teknokratis dan apa yang disebut depolitisasi. […] Filsafat macam itu bukanlah suatu lux (kemewahan) dalam masyarakat, melainkan suatu keharusan. Apakah kita mau dengan mata buta membebek saja di belakang sesuatu yang oleh para tukang jual Rinso dan Lemonpledge ditawarkan sebagai kemajuan? Dengan mengotori sungai-sungai dan lautan kita, merusak lingkungan alam dan manusia, menjebol akar-akar kesosialan manusia dan membuang mereka sebagai individu telanjang ke aspal jalan-jalan di kota-kota besar?” ***


Catatan-catatan

[i] Franz Graf von Magnis, S.J, “Prospek Filsafat di Indonesia dalam Masyarakat – Bahan untuk Diskusi Panel tgl 29-9-1978,” Majalah Filsafat DRIYARKARA, tahun VIII, nomor 1, Mei 1979, hlm. 16.
[ii] Dalam kamus Yunani – Inggris ‘Liddell and Scott’ kita akan membaca definisi phainō atau phainetai sebagai berikut: to bring to light, make to appear, to appear to be, what is apparent or manifest, be appears. Lihat Liddell and Scott’s Greek-English Lexicon, Oxford: The Clarendon Press, 1982, hlm. 750. Mengacu pada keterangan ini, maka penggunaan istilah ‘fenomena’ dalam fenomenologi sebetulnya tidak jauh berbeda dari definisi asali dalam bahasa aslinya Yunani, yaitu apa yang tertampakkan atau menghadirkan diri bagi kita.

[iii]Edmund Husserl, “Philosophy as Rigorous Science,” dalam Quentin Lauer, Phenomenology and the Crisis of Philosophy, New York: Harper & Row, 1965, hlm. 116.
[iv] Emmanuel Levinas, Discovering Existence with Husserl, diterjemahkan oleh Richard A. Cohen dan Michael B. Smith, Evanston: Northwestern University Press, 2000, hlm. 33.
[v] Edmund Husserl, Cartesian Meditations – An Introduction to Phenomenology, diterjemahkan oleh Dorion Cairns, The Hague: Martinus Nijhoff, 1973, hlm. 46, § 20.
[vi] Edmund Husserl, The Idea of Phenomenology, terjemahan William P. Alston, dengan Pendahuluan oleh George Nakhnikian, The Hague: Martinus Nijhoff, 1973, hlm. 52, naskah kuliah ke V.
[vii] Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology – An Introduction to Phenomenological Philosophy, diterjemahkan, dan diberi Pendahuluan, oleh David Carr, Evanston: Northwestern University Press, 1970, hlm. 25, 31, § 9.
[viii] Edmund Husserl, Cartesian Meditations – An Introduction to Phenomenology, hlm. 61, § 28.
[ix] Edmund Husserl, Cartesian Meditations – An Introduction to Phenomenology, hlm. 26, § 11.
[x] Edmund Husserl, Cartesian Meditations – An Introduction to Phenomenology, hlm. 46, § 20.
[xi] Edmund Husserl, Logical Investigations – Volume II, terjemahan J. N. Findlay, New York: The Humanities Press, 1970, hlm. 698-701, § 9 – § 10.
[xii] Edmund Husserl, “Philosophy as Rigorous Science,” hlm. 85.
[xiii] Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology – An Introduction to Phenomenological Philosophy, hlm. 5-7, § 2.
[xiv] Franz Graf von Magnis, S.J, “Prospek Filsafat di Indonesia dalam Masyarakat – Bahan untuk Diskusi Panel tgl 29-9-1978,” Majalah Filsafat DRIYARKARA, tahun VIII, nomor 1, Mei 1979, hlm. 16.

Untuk mendapatkan naskah dalam bentuk PDF silakan mengklik: "WHAT IS PHENOMENA – APA ITU FENOMENA"

Senin, 24 Agustus 2015

Indonesia Modern Terjebak Politik Hasrat dan Politik Uang -Sebuah Perspektif Filsafat

Seorang filsuf politik dari abad ke-17, Thomas Hobbes (1588-1679), mengajukan sebuah rumusan menarik tentang sifat dasar kekuasaan:
“Pertama-tama, saya tetapkan sebagai dorongan paling dasar semua manusia, yaitu hasrat terus-menerus (perpetual) dan tak kenal lelah (restless) untuk mengejar kekuasaan demi kekuasaan. Hasrat ini hanya akan berhenti dalam kematian.”[i]
Beberapa baris kemudian Hobbes melanjutkan:
“Sebab dari hasrat ini tidak lain karena manusia tidak dapat sepenuhnya menjamin keberlangsungan hidupnya saat ini (kuasa dan cara ia berkuasa) tanpa adanya dorongan untuk selalu mau memiliki lebih dari apa yang telah ia punya. Hukum adalah cara untuk menjamin keberlangsungan hidup itu di dalam wilayah kekuasaannya. Perang adalah cara untuk menjamin keberlangsungan hidup di luar wilayah kekuasaannya. Setelah itu semua tercapai, semua hasrat lain akan mengikuti satu demi satu, hasrat sensual, hasrat terkenal, hasrat dipuja, hasrat kesempurnaan, atau dalam diri sedikit orang termasuk juga hasrat berpikir.”[ii]
Thomas Hobbes mengajukan rumusan ini dalam bukunya yang terkenal hingga saat ini, yaitu Leviathan (terbit pada 1651). Dengan mengajukan rumusan di atas Thomas Hobbes sebenarnya telah menyingkapkan dua hal paling purba, dua hal paling naluriah, paling manusiawi, sekaligus juga paling fundamental yang telah selalu bermukim di dalam diri kita semua manusia, yaitu: 1) hasrat (desire), dan 2) kuasa (power).
Dua dorongan manusia paling purba, paling naluriah, paling manusiawi ini ternyata juga memiliki dua karakternya yang berbeda secara bersamaan: 1) karakternya yang destruktif, dan 2) karakternya yang konstruktif. Hasrat untuk terus melangsungkan hidup, terus menguasai sumber-sumber daya kehidupan dan terus mendapatkan lebih demi keamanan dirinya mendorong seseorang untuk berhadap-hadapan dengan orang lainnya, berkompetisi dengan setiap orang lain. Kompetisi adalah hasrat dasar dibalik seluruh proses gerak ekonomi. Kompetisi memungkinkan seseorang untuk menundukkan dan mengalahkan orang lain, yang dengannya terbentuklah proses kuasa dan saling menguasai (pakta dominasi). Di titiknya yang terjauh, kompetisi mendorong seseorang untuk melakukan satu hal yang sebenarnya juga sangat purba dan alamiah (telah menjadi bagian dari cara kerja alam), yaitu: membunuh menghabisi hidup nyawa orang lain dan makhluk lain. Inilah karakter destruktif hasrat dan kuasa manusia, sekaligus juga karakternya yang paling purba dan naluriah.
Tetapi Hobbes juga menyadari bahwa masyarakat tidak mungkin terbentuk di atas dasar dorongan destruktifnya. Pada batas tertentu setiap orang akan mencapai titik jenuh untuk saling mendestruksi. Di titik jenuh kompetisi inilah setiap orang menyadari bahwa masing-masing tidak mempunyai pilihan kecuali jika ia bekerja sama dengan manusia lain untuk menciptakan tatanan ruang bersama yang stabil dan dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Hasrat untuk bekerja sama dengan manusia lain untuk sama-sama mempertahankan keberlangsungan hidupnya inilah yang menciptakan adanya kontrak sosial. Kontrak sosial dibentuk di atas dasar karakter konstruktif hasrat manusia untuk menciptakan tatanan dan menjamin stabilitas.
Penjabaran Hobbes ini bukanlah suatu anjuran, bukan suatu resep/preskripsi normatif mengenai hidup bersama. Hobbes tidak lain memperlihatkan secara transparan anatomi sisi gelap diri manusia yang seringkali tidak kita sadari dan juga tidak ingin kita ketahui. Dengan membongkar gelap destruktifnya diri manusia Hobbes sebenarnya mengajukan satu hal yang sangat penting dalam setiap teori politik, yaitu: bahwa tatanan sosial-politik dapat terbentuk bahkan di atas dasar gelap, rakus, khéwan dan degilnya manusia.
Artinya, manusia sebetulnya tidak memerlukan justifikasi ilahi-metafisik atau landasan yang sungguh suci sempurna untuk memulai hidup bersama. Manusia dapat memulai, membangun, dan menjamin tatanan hidupnya persis justru karena ia adalah manusia yang akan selalu memiliki sisi gelapnya. Di kegelapan itu terpendamlah hasrat menggebu yang tanpa ampun untuk menguasai, hasrat untuk terus melangsungkan hidup dan kemakmurannya sendiri. Kejeniusan Hobbes terletak pada kenyataan bahwa ia dapat menunjukkan bagaimana hasrat egois anti-sosial manusia (yang ada dalam diri kita semua) ternyata dapat membawa pada hasrat politis untuk membentuk tatanan sosial bersama. Singkatnya, sosialitas tatanan hidup manusia ternyata dibentuk oleh hasrat anti-sosial dan hasrat egoistik-libidinalnya yang tergelap.
Tatanan sosial-politik manusia yang terhormat dan bermoral itu ternyata awalnya dibangun di atas dasar ketakutan manusia sendiri akan hasrat dirinya sebagai kawanan khéwan-khéwan rakus yang dapat membinasakan bahkan dirinya sendiri. Inilah sebuah realisme politik yang apa adanya, realisme politik yang menolak semua kemunafikan moralistik-legalistik yang cenderung menyamarkan hasrat gelap terpendam manusia. Di balik realisme politik itu berdiri sebuah tesis dasar mengenai syarat paling purba dari setiap tatanan politik: hasrat dan kuasa.
Pertanyaannya kemudian, apa perlunya repot-repot membaca dan memahami seorang filsuf penyendiri perantau yang hidup hampir empat abad lalu? Jika kita mencoba membaca suasana-batin masyarakat kita, khususnya mereka di daerah-daerah rural, kawasan pinggiran kota, kawasan pegunungan dan pesisir, yang sering kurang diperhatikan, sebetulnya masyarakat telah lelah dengan segala tontonan para politisi, para birokrat, para akademisi, para pemimpin yang sebenarnya mempertontonkan persis apa yang telah dilukiskan dengan tepat oleh Hobbes, yaitu: menyamarkan hasrat gelap mereka untuk melangsungkan hidup dan kekuasaannya sendiri di dalam bahasa-bahasa moralistik-legalistik yang seolah-olah terurai tertata rapi apik. Dalam apik rapi terdidiknya bahasa para pemimpin kita itu, mungkin kita dapat menerka adakah hasrat kuasa dan hasrat cari untung sendiri yang menggebu di dalamnya? Apakah jangan-jangan mereka para pemimpin, yang melalui mekanisme kontrak-sosial yang disebut demokrasi, sebenarnya telah memperoleh kepercayaan rakyat (kita semua) untuk menjamin tatanan hidup sosial-politik di Republik Indonesia, ternyata di kegelapan ruang batinnya tak lebih dari pemburu-pemburu rente (khéwan-khéwan yang gemar menerkam di kegelapan) yang tidak lain adalah kawanan rakus yang anti-sosial, anti-politik, dan anti-republik?
Dimana-mana di penjuru Republik ini kita melihat bagaimana proses kontrak-sosial yang kostruktif yang dinamakan demokrasi itu ternyata diperkosa dinodai oleh apa yang di media-media massa disebut sebagai ‘politik uang’. Apa yang sering kita lupa adalah politik uang itu digerakkan oleh mekanisme hasrat gelap diri manusia yang pada gilirannya kemudian akan menghancurkan ruang politik publik (res-publica) dan melumat ruang hidup bersama. Uang, di masa setelah bubarnya sistem sosialisme dan komunisme, menjadi kodifikasi universal dari satu-satunya sistem ekonomi-politik yang kita kenal sekarang: kapitalisme. Dan peredaran uang itu tidak lain dijamin oleh mekanisme produksi dan re-produksi yang tidak lagi terbatas pada tingkat komoditas riil, melainkan telah merembes ke tingkat yang paling pribadi dari manusia: hasratnya. Uang telah menjadi satu-satunya ukuran berhasil atau tidaknya hidup seseorang. Uang telah menjadi kuantifikasi hasrat pribadi manusia yang kualitatif. Dan hasrat-akan-uang itu kemudian bergerak menyamarkan dirinya dalam khotbah-khotbah mulia mengenai motivasi-diri, mengenai pencitraan-diri para tokoh yang semakin meng-inflasi pandangan masyarakat mengenai moralitas dan politik yang sehat.
Tidak ada yang sesat di dalam uang, sebab itulah representasi wajah asli manusia yang menampakkan hasratnya yang menggebu-gebu. Uang menjadi sesat saat ia menjadi politisasi atas hasrat-akan-uang. Uang menjadi sesat saat ia perlahan-lahan mulai menggerogoti sampai keropos tatanan sosial-politik yang seharusnya dapat menjamin stabilitas kontrak-sosial (demokrasi). Uang menjadi sesat saat ia (uang) merembes ke dalam transparansi proses politik publik lewat agen-agen uang yaitu para khéwan pemburu rente. Pada titik ini, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk melihat bagaimana suatu tatanan politik perlahan kembali jatuh ke dalam kompetisi hasrat dalam bentuknya yang purba: masyarakat yang mulai saling membinasakan diri dan sesamanya.
Kita dapat berkata bahwa efisiensi sistem adalah penyelesaiannya, atau bahwa Indonesia memiliki lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang akan memberangus para pemburu rente yang telah bersenyawa dengan para birokrat-politisi. Tetapi semua itu adalah penyelesaian (solusi) yang bersifat sistematik, legalistik, dan rasional. Apa yang sering terlupakan adalah fakta bahwa manusia (masing-masing kita) juga digerakkan oleh dorongan-dorongan hasrat yang irrasional dan seringkali liar. Tidak ada satupun sistem di jagad raya ini yang dapat sepenuhnya mengendalikan gerak (energeia) daya/kekuatan gelap yang bekerja di balik proses alam (dari tsunami, gempa bumi, letusan gunung, dll). Untuk manusia, daya gerak yang gelap dan sering kita sembunyikan itu tidak lain adalah hasratnya. Tidak ada sistem kontrak-sosial manapun yang dapat sepenuhnya mengendalikan daya gerak hasrat manusia. Ini artinya, solusi-solusi sistematik-legalistik seperti sistem hukum atau sistem trias politica tidak dapat sepenuhnya selamanya menjamin keberlangsungan tatanan hidup bersama. Sebabnya tidak lain karena sistem itu sendiri digerakkan oleh hasrat manusia, dan oleh karena itu juga dapat menjadi sarana untuk menyembunyikan atau melipatgandakan hasrat-hasrat gelap manusia.
Dalam Leviathan Hobbes berhasil menunjukkan satu syarat penting dari terbentuknya tatanan sosial-politik: manusia-manusia, yang seringkali putus asa dan seringkali juga berubah buas, hanya akan dengan sukarela menyerahkan sebagian kebebasannya dan menyediakan dirinya untuk diperintah serta dipimpin, jika dan hanya jika ia (mereka) yang diberi kepercayaan untuk menjamin kontrak sosial dapat sungguh-sungguh memanfaatkan kepercayaan itu untuk menciptakan/mempertahankan stabilitas tatanan hidup bersama. Artinya, manusia hanya bersedia dikuasai oleh kekuatan yang memang lebih superior dari dirinya sendiri. Tanpa jaminan itu, tatanan berubah menjadi perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes).
Dalam konteks Indonesia modern, kekuatan superior yang dapat menjamin tatanan hidup bersama itu tidak lain adalah Negara berikut sistem pemerintahan (struktur) dan para pemimpinnya (agen). Jika sistem pemerintahan (juga sistem hukum) adalah struktur normatif-legalistik yang memberi kaidah-kaidah hidup bernegara, maka para pemimpin adalah agen/subjek pelaku politik di tingkat struktural yang melegitimasi seluruh struktur sosial-politik. Tanpa legitimasi para subjek politik ini, seluruh legalitas kehilangan daya gebrak dan efektivitasnya.
Legitimasi politik yang mampu memfungsikan secara efektif seluruh struktur legal Negara hanya dapat muncul dari kemampuan para pemimpin untuk mentransformasi hasrat destruktif mereka untuk cari selamat sendiri ke dalam hasrat konstruktif untuk menciptakan tatanan politik yang sehat-transparan. Dalam sebuah struktur Leviathan yang diharapkan dapat menjamin kontrak sosial, pada batas tertentu masyarakat menantikan adanya subjek pelaku politik yang dapat mengambil tanggungjawab. Tanpa jaminan ini kedaulatan bergeser perlahan-lahan ke dalam kekacauan dan kebinasaan.
Mengikuti apa yang telah dikatakan Hobbes, sistem kontrak sosial yang muncul sebagai bentuk representasi dan otorisasi kekuasaan rakyat dalam sosok para pemimpinnya akan dengan sendirinya berhenti berfungsi sebagai kontrak sosial jika para pemimpin/pelaku politik tidak lagi dapat menjamin keselamatan dan keberlangsungan hidup rakyat yang dipimpinnya. Pada batas ini, hasrat konstruktif untuk memulai hidup bersama lewat sistem kontrak sosial yang disebut demokrasi akan dengan sendirinya berubah kembali menjadi hasrat destruktif untuk membinasakan orang lain demi keselamatan sendiri. Inilah kondisi asali (status naturalis/state of nature) yang akan selalu mengintai di batas terjauh segala tatanan sosial-politik. Pada titik ini Carl Schmitt, yang setia meneruskan realisme politik Hobbes, benar ketika mengatakan bahwa pada akhirnya: Kedaulatan adalah ia yang di atas segala pengecualian mampu memutuskan (Souveränität ist, wer über den Ausnahmezustand entscheidet).[iii] ***
[Ito Prajna]
[i] Thomas Hobbes, Leviathan, translated with an Introduction by C. B. Macpherson (Penguin Books, 1974), part I, chapter 11, pp. 160-161.
[ii] Ibid., p. 161.
[iii] Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Theory of Sovereignty (Cambridge: MIT Press 1986), p. 5.
 
Sumber :  http://thinker-asratisme.blogspot.com/2013/02/indonesia-modern-terjebak-politik.html

Dari Papua - Indonesia : Filsafat Fenomenologi Politik dan Hakikat Kepemimpinan

Perkenalan saya dengan fenomenologi adalah ketika menempuh studi di Universitas Pertahanan Indonesia. Dalam satu program studi yang jarang diberikan tapi mendasar saya mendapatkan mata kuliah Philosophy of Peace and Conflict Resolution (PCR UNHAN). Tajam dan jernihnya kuliah-kuliah yang diberikan oleh Prof. Franz Magnis-Suseno, Romo Setyo Wibowo, dan abang Ito Prajna-Nugroho, semuanya sangat menggugah saya untuk mendalami filsafat khususnya fenomenologi yang dibawakan oleh bang Ito Prajna.
Semangat untuk menyebarkannya walau dengan pengetahuan yang terbatas adalah saat diskusi-diskusi intensif bersama bang Ito Prajna-Nugroho di sebuah café 24 jam di bilangan Sarinah, di tengah hiruk pikuk hasrat dan lalu lalang manusia di Jakarta Pusat.
Saya menyadari bahwa motif saya untuk mendalami fenomenologi adalah mendalami fenomenologi sebagai alat berpolitik (Buku Fenomenologi Politik – Membongkar Politik Menyelami Manusia). Karena itu tidak salah ketika saya katakan bahwa di Jayapura kami akan membangun gerakan fenomenologi dengan ‘gaya jalanan’ atau “phenomenology on the street”. Istilah tersebut pertama kali secara resmi terlontar pada bedah buku Fenomenologi Politik (Fenopol) karya bang Ito Prajna-Nugroho di Universitas Indonesia bersama Dr. Donny Gahral Adian pada 26 Mei 2014.
Dari proses-proses tersebut (diskusi di kelas PCR Unhan dan di Sarinah) akhirnya terpikirkan membangun sebuah gerakan fenomenologi di Papua, yang dinamakan dengan Jayapura Phenomenology Circle (Japhec), pada tanggal 8 April (persis dengan tanggal dan bulan lahir bapak fenomenologi). Saya pikir ini adalah sebuah apresiasi yang tidak berlebihan kepada Husserl.
Hampir sebagian besar teman-teman yang tergabung dalam Japhec adalah kader, pengurus atau simpatisan dari Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GEMAPI), sebuah organisasi kepemudaan non-partisan yang bertujuan mengembangkan bakat dan kepemimpinan generasi muda (mahasiswa). Maka dengan memperkenalkan fenomenologi saya berharap bisa membantu mengembangkan organisasi ini dengan didahului oleh perubahan pola pikir kader dan pengurus.
Menerapkan filsafat dan metodologi fenomenologi dalam kepemimpinan sangat menarik. Ini adalah fenomena tersendiri. Dalam pengalaman saya, dengan menggunakan fenomenologi sebagai alat bantu mendidik kader, proses transformasi yang terjadi pada kader sangat luar biasa. Tidak hanya teman-teman dekat yang menyaksikan perubahan tersebut tapi kader yang bersangkutan juga mampu memaknai proses perubahan yang sedang berlangsung pada dirinya. Perspektif fenomenologi membantu saya mendorong kader untuk mengalami sendiri. Kader juga semakin bertanggungjawab, yakni mau mengakui berbagai responnya terhadap situasi hidup nyata sebagai responnya sendiri. Seorang yang bertanggungjawab atas dirinya akan mampu berkata: “Saya adalah Saya!”.
Setiap kader bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Setiap kader didorong untuk mengendalikan jiwanya. Banyak masalah di dunia ini diciptakan oleh orang-orang yang tidak mampu mengendalikan diri dan memproyeksikan atau melemparkan permasalahannya pada orang lain. Mengendalikan diri berarti menentukan batas-batas perilaku ekspresi diri sendiri. Sifat-sifat positif seseorang merupakan kontribusi yang sangat baik bagi kehidupan. Namun, bila sifat-sifat itu dipaksakan melampaui batas atau berlebihan, maka akan menjadi beban bagi dunia sekitarnya.
Kader menjadi lebih sadar untuk mempergunakan karunia-karunia yang dimiliki bagi kesejahteraan orang lain. Seseorang yang tidak mengenal batas dalam memuaskan keinginannya akan terus-menerus iri mendengki pada apa yang dimiliki oleh orang lain. Pengalaman yang saya alami juga yakni dengan menggunakan metode reduksi fenomenologi (epoché) kita menjadi semakin bersikap sadar, cermat, dan berhati-hati tanpa terjebak dalam jebakan negative thinking. Untuk menghargai pengalaman yang dialami, kami sepakat Kos tempat tinggal salah satu teman Japhec disepakati sebagai Epoché Room.
Fenomenologi juga sejalan dengan hukum kepemimpinan yakni hukum intuisi. Hukum intuisi adalah hukum tersulit dari seluruh prinsip fenomenologi dan hukum kepemimpinan. Kelebihan metode ini adalah membantu kader untuk benar-benar fokus pada panggilan (keterarahan/intensionalitas) hidup. Fenomena yang nampak adalah mereka mulai menata kembali jadwal aktivitasnya dan mengurangi agenda pribadi yang sifatnya jalan-jalan dan refreshing. Ini tidak berarti hidup mereka jauh dari refreshing, tetapi memadukan kehidupan organisasi, panggilan hidup, dan refreshing sekaligus. Dengan kata lain mencoba untuk mengefisienkan dan mengefektifkan gerakan.
Peningkatan intensionalitas berarti semakin terarahnya atau semakin disadarinya perilaku kader. Hal ini meliputi pemahaman akan berbagai motifasinya yang terdalam. Kader menjalani kehidupan dengan tingkat kesadaran yang sangat tinggi sehingga mampu mengenali akibat positif atau negatif yang ditimbulkannya terhadap orang lain. Kader menjadi lebih mampu mengendalikan gerakan-gerakan tersembunyi yang berlangsung di dalam jiwa atau batinnya.
Setiap kader membutuhkan waktu untuk mengenali dirinya agar mencapai keseimbangan sehingga mampu mengatasi tekanan dan permasalahan hidup dengan lebih baik. Kader menjadi lebih sering mendengarkan apa yang berlangsung di dalam dirinya, sehingga mampu mengatur proses-proses yang berlangsung di dalam dirinya serta memberikan respons yang lebih efektif terhadap situasi kehidupan.
Fenomenologi menantang setiap kader untuk menguasai keterampilan mengintervensi proses-proses pembentukan kesadaran di dalam dirinya. Mengintervensi proses-proses pembentukan kesadaran di dalam diri seseorang akan menjadikan dirinya lebih efektif dalam menghadapi tugas dan tanggung jawab. Dengan pendekatan fenomenologi di GEMAPI, para kader juga semakin menyadari pentingnya persahabatan. Hal-hal sederhana yang termasuk dalam everday lifeworld seperti sms, telpon, dibahas lalu dianalisis apa dasarnya dan kemana arahnya. Atau misalnya mantan pacar yang ajak balik juga ditanggapi dengan cara yang tak biasa tetapi dengan melihat apa dasar di belakang fenomena itu. Setiap orang berada dalam jalinan relasi, pertama-tama relasi dalam dirinya sendiri dan kemudian relasi persahabatan dengan orang lain. Setiap orang tidak akan bisa menjalin persahabatan secara bermakna seandainya ia belum mamahami, menerima, dan menghargai dirinya sendiri serta bergulat dengan dirinya sendiri sebelum menjalin persahabatan dengan yang lain. Hanya bila orang merasa aman dengan dirinya sendiri, maka ia akan mampu mengembangkan hubungan yang bermakna dan langgeng dengan yang lain.
Dengan pendekatan fenomenologi Kader GEMAPI menjadi sadar pentingnya berkomunikasi dengan dirinya sendiri: apakah berpikir saya sudah lurus? Apakah pribadi saya punya integritas? Sudah jernihkah saya membaca fenomena? Sudah benarkah langkah perjuangan saya? Sudah tepatkah saya menempatkan diri dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan?
Dalam perjalanan GEMAPI dan juga Japhec, saya menyadari bahwa untuk menyebarluaskan gerakan fenomenologi secara lebih efektif adalah dimulai dengan diri sendiri. Jika kita mampu mengubah diri kita, orang disekitar kita akan mudah berubah. Lakukan perkara kecil terlebih dahulu, maka kepadamu akan dipercayakan perkara-perkara besar. Japhec dalam proses pergumulan fenomenologi mengerti bahwa bekerja dengan siapa lebih penting daripada mengerjakan apa. Ini menurut kami bukanlah sebuah arogansi, melainkan pemahaman yang mendalam bahwa jika kita ingin menjadi rajawali, kita harus bergaul dengan rajawali, bukan dengan burung beo! Dan pergaulan tersebut haruslah intens.
Ada istilah yang dikembangkan oleh Japhec, yakni membedakan antara membaca/melihat dengan rasio instrumental belaka (untuk menjelaskan apa yg dimaksud oleh bang Ito Prajna sebagai pemahaman gampang-gampangan atau natural attitude) dan membaca dengan intuisi (untuk menjelaskan apa yg dimaksud oleh bang Ito Prajna sebagai pemahaman cermat atau phenomenological attitude).
Saya duga, saat Husserl mengajar, banyak mahasiswa yang tertarik tetapi hanya tertarik pada fenomenanya saja (cara mengajarnya) bukan dasarnya (apa yang diajarkan). Heideger adalah salah satu mahasiswanya yang mencoba memahami kuliah-kuliah Husserl dengan Intuisi. Dengan menyaksikan misalnya Heideger dan Freud menjadi pemikir besar maka Husserl telah berhasil untuk memprovokasi mahasiswanya untuk mengembangkan fenomenologi.
Mungkin saja Husserl dan Heideger tidak hanya berhubungan sebatas mahasiswa dan dosen atau dosen senior dan asisten dosen tetapi bisa jadi keduanya adalah sahabat dekat.
Epoché menurut Japhec adalah sebuah upaya mengendalikan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu adalah salah satu hasrat yang jika tidak dikendalikan bisa berbahaya. Misalnya ketika kita mengetahui bahwa ada orang yang membicarakan kita (menjelek-jelekan kita), kita menjadi berhasrat untuk mengetahui siapa orang tersebut. Hal ini bisa berujung pada semakin buruknya hubungan kita dengan orang tersebut. Dengan mengendalikan rasa ingin tahu, kita menjadi terfokus pada apa yang dikatakan, sehingga jika apa yang dikatakan itu perlu dan baik bagi kita, kita lakukan. Jika kita sudah melakukannya, ada harapan orang yang tadi menjelek-jelekan kita menjadi baik kembali sebab apa yang tdk disukai olehnya sudah kita ubah. Dan kita berubah bukan karena demi tidak memiliki musuh, tetapi justru karena kita bertindak adil bagi diri kita (Platon nya A. Setyo Wibowo, SJ). Dengan sendirinya dengan ber-epoché kita melakukan perawatan jiwa.
Sambutan saya pada pembukaan latihan kader I GEMAPI angkatan V pada september 2014, saya beri judul merawat Jiwa GEMAPI. Bagaimana merawat jiwa GEMAPI, dimulai dengan merawat jiwa para pemimpin tertinggi pada GEMAPI. Transformasi sosial tidak mungkin terjadi tanpa transformasi pribadi. Dalam sejarah kita menyaksikan banyak orang yang tidak mampu mengendalikan perilaku kompulsif. Banyak kehidupan dikorbankan akibat perilaku kompulsif mereka yang tidak mampu mengendalikan diri. Banyak pemimpin yang bertindak seperti Tuhan: tidak menghormati martabat pengikutnya. Bilamana para pemimpin tidak menjunjung martabat seorang pribadi melebihi prinsip, idiologi, atau visi mana pun, maka masih akan terus terjadi dehumanisasi (buku Fenomenologi Politik – Membongkar Politik Menyelami Manusia, Bab 4).
Akhirnya, mungkin terlalu muluk, tapi kami ingin bermimpi yang sedikit gila, bahwa Japhec ingin fenomenologi menjadi modus vivendi dan horizon Lebenswelt bagi sebanyak mungkin orang yang bisa tersentuh tergerak oleh Japhec.
Jayapura – Indonesia
14 Agustus 2015
Jayapura Phenomenology Circle (JAPHEC), atas nama perwakilan Japhec, Habelino Sawaki

Sumber : http://terapanfilsafat.com/dari-papua-indonesia-filsafat-fenomenologi-politik-dan-hakikat-kepemimpinan/

Bersiasat dengan Konflik

Bersiasat dengan Konflik

Ito Prajna-Nugroho,

Peneliti Bidang Filsafat Politik dan Teori Konflik pada Lembaga Studi Terapan Filsafat


Sekitar 5 tahun lalu, kelompok kajian khusus tentang konflik yang bernaung di bawah bendera sebuah lembaga internasional, ViCIS (Violent Conflict in Indonesia Study), menerbitkan laporan singkat untuk panduan kebijakan nasional. Laporan singkat itu menyampaikan bahwa demokratisasi dan otonomi daerah telah mengubah peta konflik, dan membuat konflik di Indonesia menjadi lebih bersifat lokal, berskala kecil, tapi sporadis menyebar di sana-sini. Api yang akan membakar konflik-konflik tersebut adalah persoalan keadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Laporan itu, sebagaimana nasib kebanyakan hasil studi di Indonesia, mungkin telah masuk arsip entah di mana, luput dari perhatian.

Sebagai negara yang bhinneka dalam hal suku bangsa, muda dalam hal demokrasi, setiap peringatan dini akan konflik layak mendapatkan perhatian khusus. Beberapa kasus konflik yang terjadi selama pemerintahan Joko Widodo mengafirmasi simpulan penelitian tersebut. Sebut saja kasus konflik di Batam, Paniai, Tolikara, dan Kampung Pulo belum lama ini. Belum lagi besarnya kemungkinan konflik yang dapat muncul menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember nanti. Apalagi situasi ekonomi yang semakin berat membuat banyak warga tergelincir ke tingkat bertahan hidup (survival) sehari-hari.

Akar konflik biasanya diasalkan ke persoalan separatisme dan radikalisme, atau ke tuntutan kesejahteraan dan pemerataan, yang semuanya terkait dengan persoalan ekonomi. Meski tentu benar motif ekonomi meresap di balik hampir setiap konflik, satu dimensi yang sering luput diperhitungkan dalam menghadapi kerentanan konflik adalah dimensi sosial-budaya. Semakin seseorang terdesak kebutuhan survival, dia akan semakin abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan semakin acuh terhadap norma-norma sosial-budaya. Desakan tuntutan hidup sering kali membuat manusia berubah brutal, tanpa ia sadari. Penyebabnya sederhana, nilai budaya tidak lagi memiliki relevansi dalam menopang pergulatan hidup yang paling dasar. Mekanisme penghargaan-diri dan penghargaan sosial yang awalnya membuat seseorang bersedia berkompromi mematuhi nilai-nilai sosial budaya, kini tidak lagi mampu memberikan makna dan terang budi bagi pergulatan kelangsungan hidup di tingkat dasar. Asimetri, atau ketidakseimbangan di antara brutalnya pergulatan hidup dan mulianya tuntutan sosial, inilah akar dari segala disorientasi dan konflik.

Menghadapi asimetri sosial-budaya ini, beberapa terobosan negara dalam menyiasati konflik patut diacungi jempol. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, secara intensif pernah menyelenggarakan program "Internalisasi Nilai Damai" di seluruh daerah rawan konflik di Indonesia sekitar 2013 hingga 2014. Demikian juga Kementerian Pertahanan saat ini mulai menggiatkan kembali panji "Bela Negara" dan mulai menyiapkan infrastruktur terkait untuk mendukung program tersebut, seperti Pusdiklat Bela Negara.

Namun, dalam permasalahan konflik, pengelolaan di tingkat mikro (micro management) jauh lebih dibutuhkan daripada konsep-konsep makro mengenai teori kebudayaan dan pertahanan. Ini juga berarti perlunya efektivitas kerja sama antar-kementerian, dan terobosan-terobosan program lintas kementerian yang langsung menyentuh masyarakat di semua lapisan sosial. Di tingkat mikro manajemen ini, pertahanan bermakna lebih dari sekadar pameran alutsista, dan kebudayaan bermakna lebih dari sekadar pergelaran.

Efektivitas penerapan program lintas-kementerian di aras mikro adalah kunci dalam bersiasat dengan konflik baik di tingkat lokal maupun nasional. Ini juga berarti hambatan psikologis, yaitu ego sektoral masing-masing kementerian, harus mengalah demi tujuan yang lebih besar, yaitu keutuhan Republik. Seperti telah dibuktikan sepanjang sejarah peradaban manusia, rahasia keberhasilan suatu siasat terletak pada kepemimpinan.

Berhadapan dengan kerentanan konflik, layaknya musuh tersembunyi yang dapat menyergap di mana saja, kapan saja, kualitas kepemimpinan Joko Widodo sebagai pengemban tanggung jawab tertinggi di Republik ini mungkin akan diuji hingga ke batas terjauhnya. Apalagi pepatah kuno peninggalan peradaban Romawi pernah mengatakan bahwa retaknya suatu bangsa tidak berasal dari bangsa lain, melainkan bersumber dari dalam bangsa itu sendiri.

Bersiasat dengan konflik, atau menyiasati benturan antar-kepentingan, menjadi tanggung jawab berat yang harus ditanggung pemimpin, siapa pun dia. Siasat untuk menyiasati konflik ini selayaknya juga menyadarkan para elite politik untuk berhenti bersiasat satu sama lain. Sebab, terlalu besar pengorbanan yang harus dibayar dari setiap tetes darah dan air mata yang tertumpah akibat konflik yang terlambat diantisipasi.

Sumber : http://koran.tempo.co/konten/2015/08/22/380659/Bersiasat-dengan-Konflik