APA ITU FENOMENA?
Beberapa waktu lampau, di tengah
pertemuan terbatas dengan para sahabat yang sibuk berpolitik dan
berpikir, di tengah serunya tukar pikiran serta argumentasi mengenai
berbagai tema filsafat politik dan kaitannya dengan tatanan geopolitik,
seorang teman sekonyong-konyong bertanya kepada saya: “Mas, apa
sebetulnya yang dimaksud dengan ‘fenomena’ dalam fenomenologi? Sebab
sekarang, khususnya di media-media informasi, orang bisa sesukanya
menyebut apa saja sebagai fenomena. Lalu apa sebetulnya ‘fenomena’?”
Pertanyaan ini bagaikan siraman air dingin di tengah panas terik
matahari, mengagetkan bahkan agak menjengkelkan tetapi justru
menyadarkan.
Pertanyaan ini juga membawa saya kembali
jauh ke belakang, ke tahun-tahun yang lampau, di saat saya yang ketika
itu baru genap berusia 19 tahun memulai proses studi sebagai mahasiswa
filsafat.
Di tahun-tahun awal menekuni filsafat
itu, tidak boleh ada konsep atau istilah yang tinggal remang-remang
tidak terjelaskan dalam ketidaktahuan dan kemalasan berpikir. Ketika itu
Sang Profesor Filsafat menekankan kepada kami mahasiswanya bahwa
filsafat pertama-tama adalah suatu disiplin dalam berpikir, dan sebagai
disiplin filsafat menuntut kerja keras untuk berpikir sesuai standar
metodologi filosofis yang rigor (ketat) dan dapat dipertanggungjawabkan
oleh nalar. Dalam konteks itu, ditekankan lagi oleh Sang Profesor yang
ketika itu berusia 70 tahun, filsafat adalah musuh utama bagi setiap
kegenitan intelektual! Kata-kata yang kuat dan dipraktikkan sendiri oleh
Sang Profesor itu bergaung terus di benak kami mahasiswa. Inilah
sebabnya mengapa setiap istilah dan konsep filosofis perlu dapat
dijelaskan secara jelas terpilah-pilah, dan dalam alur argumentasi yang
disiplin, koheren, serta komprehensif. Pertanyaan teman yang datang
sekonyong-konyong itu menyadarkan pentingnya kembali ke hal-hal dasar –
persisnya prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai dasar – yang sering
terlupakan begitu saja, atau bahkan justru tidak pernah terpikirkan sama
sekali.
Di Indonesia, satu dari sekian banyak
kesulitan dalam membahas filsafat pada umumnya, dan fenomenologi pada
khususnya, adalah dunia akademik dan khalayak publik yang masih asing
dengan filsafat serta sejarah filsafat sebagai suatu kajian ilmu yang
menuntut rigoritas tersendiri. Di Indonesia, seorang dosen filsafat atau
orang yang mengaku ahli filsafat seolah diandaikan bisa membicarakan
apa saja, dan seringkali memang publik menuntutnya untuk bisa
membicarakan segala hal! Tanpa ketahanan dan kesadaran pribadi setiap
filsuf atau ahli filsafat di Indonesia berada dalam bahaya bergeser
peran menjadi tukang jual obat. Lebih parah lagi, pembicaraan mengenai
filsafat, dan fenomenologi khususnya, mudah bergeser menjadi gosip
mengenai klenik dan berbagai hal lain yang sulit dipertanggungjawabkan
oleh daya nalar.
Entah mengapa dalam alam pikir orang
Indonesia kata fenomena sering terasosiasikan dengan hal-hal klenik,
penampakan-penampakan supra-nalar (bahkan anti-nalar), hal-hal
fiktif-mitologis, dan hal-hal lain yang dianggap spektakuler atau
populer. Tentu saja hal-hal itu memiliki ruang hidup dan kegunaannya
sendiri, tetapi filsafat pastilah tidak berurusan dengan semua hal-hal
yang berada di luar batas pertanggungjawaban nalar tersebut. Rigoritas
berpikir dan disiplin filosofis rupanya masih menjadi hal asing dan
langka dalam mentalitas khalayak kita. Padahal dalam kehidupan sosial,
filsafat sebagai disiplin berpikir yang rigor dan metodologis secara
konkret memiliki peran vital yang tanpanya suatu masyarakat akan sulit
berjarak dari dirinya sendiri dan mudah terombang-ambing ke sana kemari
tanpa tujuan. Sebagaimana pernah diungkapkan seorang profesor filsafat
di tahun 1978:
“Filsafat adalah suatu
disiplin ilmiah yang bertugas untuk membuat kita dapat memahami
implikasi-implikasi dari segala gejala yang setiap hari membanjiri, agar
kita dapat menilainya, mengritiknya, menemukan jarak dan dapat
mengambil sikap terhadapnya. […] Di Indonesia pun kita semakin sadar
akan sifat ideologis yang terselubung di belakang pragmatisme pendekatan
teknokratis dan apa yang disebut depolitisasi. […] Filsafat macam itu
bukanlah suatu lux (kemewahan) dalam masyarakat, melainkan suatu
keharusan. Apakah kita mau dengan mata buta membebek saja di belakang
sesuatu yang oleh para tukang jual Rinso dan Lemonpledge ditawarkan
sebagai kemajuan? Dengan mengotori sungai-sungai dan lautan kita,
merusak lingkungan alam dan manusia, menjebol akar-akar kesosialan
manusia dan membuang mereka sebagai individu telanjang ke aspal
jalan-jalan di kota-kota besar?”
Dalam kajian filsafat fenomenologi
beserta semua turunannya, seperti fenomenologi eksistensial,
fenomenologi agama, fenomenologi kebudayaan, fenomenologi politik,
fenomenologi arsitektur, dsb, kata fenomena (akar kata Yunaninya: phainō
atau phainetai /φαίνω / φαίνεται) merupakan batu penjuru yang
menetapkan dasar bagi seluruh kajian fenomenologi. Tanpa kejelasan dan
ketepatan pemahaman akan konsep kunci tersebut niscaya seluruh pemahaman
kita akan fenomenologi menjadi salah kaprah. Padahal Edmund Husserl,
sang penggagas fenomenologi, sejak awal terbitnya buku monumental
Logische Untersuchungen (1900/01) yang menginisiasi seluruh program
fenomenologi, memaksudkan fenomenologi sebagai kajian metodologis yang
ketat (rigor) mengenai hakikat (esensi) kesadaran dan cara bagaimana
segala hal dapat tertampakkan bagi kesadaran. Segala hal yang tampak
bagi kesadaran melalui caranya yang khas, itulah yang sesungguhnya
disebut sebagai fenomena.
Berangkat dari pengertian ini
fenomenologi bermaksud untuk menyelidiki secara ketat dan metodologis
bagaimana sesuatu (fenomena yang tampak bagi kita itu) dapat kita
persepsi, kita alami, kita ketahui kita tafsirkan, kita hayati, dan kita
maknai melalui medium yang khas manusia. Medium yang khas manusia itu
tidak lain adalah kesadaran kita yang melaluinya kita menyadari-diri dan
menyadari adanya dunia serta manusia lain. Apa yang hendak disingkapkan
di balik proses kerja metodologis ini tidak lain adalah relasi mendasar
antara kita (manusia) dan dunia.
Persoalannya, dalam disiplin metode
fenomenologi, tidak semua hal dapat dikelompokkan ke dalam kategori
fenomena. Mengenai persoalan ini, kita perlu menyimak kata-kata Emmanuel
Levinas dalam sebuah karya filosofisnya yang sangat bagus tentang
fenomenologi Husserl, berjudul En découvrant l’existence avec Husserl
(Mengungkap Eksistensi bersama Husserl / 1967):
“Fenomenologi berarti
ilmu tentang fenomena. Segala yang terberikan, tertampakkan, atau
tersingkapkan bagi pandangan kita adalah fenomena. Tetapi dengan itu
apakah berarti segala sesuatu adalah fenomena dan setiap ilmu adalah
sebuah fenomenologi? Tidak sama sekali. Apa yang terberikan bagi
kesadaran, obyek atau sesuatu itu, hanya dapat dikatakan sebagai
fenomena jika orang yang bersangkutan merengkuh sesuatu itu lewat peran
yang dimainkannya dan lewat fungsi yang dijalankannya dalam hidup
pribadi dan afektif orang tersebut. Di luar itu, sesuatu atau obyek tadi
tidaklah lebih dari abstraksi yang arti, daya cakup, dan bobotnya lolos
dari pemahaman kita. Sebuah penafsiran filosofis yang dikonstruksi,
pemahaman yang ditempelkan dari luar, telah mengkhianati arti
sesungguhnya dari sesuatu atau obyek itu. Konstruksi membuyarkan
fenomena.
Untuk menyelamatkan
fenomena, fenomenologi dipandu oleh keyakinan bahwa makna akhir dan
makna filosofis dari suatu fenomena dapat dicapai hanya jika kita
meletakkannya kembali ke dalam ruang hidup kesadaran, ke dalam apa yang
individual dan tidak terbagi dalam cara berada (eksistensi) kita yang
konkret. Tentu saja hal ini membalik seluruh pendekatan/sikap ilmiah
yang naturalistik.”
Tidak mudah memang memahami langsung arti
kata-kata Levinas tersebut. Namun Levinas berhasil merumuskan secara
ringkas, tanpa kekurangan bobot kualitas pemahamannya, apa yang oleh
Husserl dimaksud sebagai fenomena.
Untuk lebih memahami apa yang telah
dirumuskan dengan bagus oleh Levinas, dan untuk lebih memahami arti
konsep fenomena, perlulah kita kembali kepada pemikiran Husserl sendiri.
Dalam naskah akademis yang dibawakan di Amphithéatre Descartes,
Universitas Sorbonne, Prancis, pada 23 dan 25 Februari 1929, dan
diterbitkan dalam bahasa Prancis pada 1931, Husserl mengatakan:
“Hidup yang disadari
(hidup kesadaran) bukan hanya terdiri dari kumpulan ‘data’ kesadaran
yang dapat dianalisa […] melainkan dalam ciri khasnya sebagai kesadaran
intensional merupakan sebuah penyingkapan atas potensi-potensi yang
implisit terkandung dalam aktualitas kesadaran, sebuah penyingkapan yang
membawa bersamanya sebuah pengungkapan, sebuah kejelasan atau
keterbukaan pemahaman atau pembedaan yang jelas terpilah, mengenai apa
yang disadari (makna obyektif) dan juga mengenai proses intensional yang
memungkinkannya. Telaah intensional dipandu oleh prinsip dasar bahwa
sebagai kesadaran, setiap cogito terarah kepada sesuatu, tetapi juga
setiap saat sesuatu yang kepadanya cogito terarah itu selalu
mengandaikan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dari apa yang sekadar
tertampakkan. Persepsi kita, dalam setiap momennya, selalu hanya
mempersepsi satu sisi saja dari sebuah obyek yang kepadanya kita
terarahkan. Sementara intensionalitas selalu merupakan keterarahan yang
melampaui dirinya sendiri, dan secara implisit menjadi ciri dasar setiap
kesadaran. Intensionalitas selalu mengandaikan sesuatu yang lebih dari
apa yang tertampakkan, dan memperoleh bentuknya dalam
kemungkinan-kemungkinan persepsi, pemahaman, dan proses ingatan yang
terus menerus (tak terbatas) yang dapat diaktualisasikan melalui
inisiatif saya.”
Kutipan ringkas di atas, yang memang
tidak mudah, dapat memandu kita memahami beberapa hal dasar mengenai
arti fenomena dalam fenomenologi. Yang pertama mengenai arti obyek dalam
kaitannya dengan intensionalitas kesadaran. Yang kedua mengenai
intensionalitas kesadaran dalam kaitannya dengan konsep fenomena. Yang
ketiga mengenai persepsi dalam kaitannya dengan fakta atau data
persepsi. Maka sebetulnya ada tiga hal dasar yang perlu kita bedakan
satu dengan yang lain, dan memang secara mendasar berbeda satu sama lain
yaitu: obyek, fenomena, dan fakta.
Kita mulai dari yang pertama yaitu
perihal arti obyek dalam kaitannya dengan intensionalitas kesadaran.
Sebagaimana dinyatakan Husserl dalam kutipan di atas, kesadaran kita
bukanlah sekadar tumpukan data yang masuk begitu saja ke dalam pikiran
atau ingatan, layaknya file-cabinet yang menyimpan berbagai data
dokumen. Pertanyaan Husserl adalah mengapa data-data yang dihasilkan
dari persepsi dan pengalaman itu dapat kita pahami sebagai suatu data
(sebagai sesuatu) daripada tidak sama sekali? Apa yang memungkinkannya?
Pertanyaan ini membawa pada satu konsep penting dalam fenomenologi,
yaitu intensionalitas atau kesadaran yang telah selalu mengarahkan-diri
kepada sesuatu.
Dengan intensionalitas mau ditunjukkan tiga hal pokok:
1) Kesadaran tidak pernah tertutup,
melainkan selalu bersifat terbuka dan keterarahannya tidak terbatas.
Artinya, kesadaran telah selalu mengandaikan sesuatu yang lain selain
dirinya sendiri, dan kemampuan kesadaran untuk memahami segala yang lain
itu juga selalu terbuka kepada kemungkinan-kemungkinan yang tidak
terbatas;
2) Manusia telah selalu berada dalam relasi yang tertentu dengan obyek (dalam arti luas: dunia);
3) Relasi yang tertentu dengan dunia ini
dapat meluas atau menyempit, membuka atau menutup, sesuai dengan
kemampuan setiap manusia untuk menyadari kemungkinan-kemungkinan
(potensialitas) arah kesadarannya.
Bagi Husserl, intensionalitas ini adalah
cara kerja kesadaran yang paling mendasar dan paling hakiki, yang
tanpanya kesadaran manusia bukanlah kesadaran. Dalam fenomenologi,
intensionalitas merupakan ontologi fundamental yang niscaya ada sebelum
segala persepsi, pengalaman, dan pengetahuan. Intensionalitas
mendefinisikan cara berada manusia sebagai manusia.
Kesadaran yang telah selalu
mengarahkan-diri kepada sesuatu ini dengan demikian juga telah memuat
isi atau obyeknya yang tertentu. Persoalannya, apa yang dimaksud dengan
obyek dalam fenomenologi tidak terbatasi hanya pada obyek-obyek
kebendaan. Obyek memiliki arti yang jauh lebih luas dari sekadar
benda-benda material. Apa saja secara tidak terbatas bisa menjadi obyek
kesadaran, dari apa yang memang senyatanya ada (hal-hal material
konkret) hingga ke konsep-konsep abstrak yang hanya dapat dipikirkan
(konsep filosofis seperti ‘kebaikan’, ‘ketuhanan’, ‘Ada’, dsb, atau
persamaan-persamaan geometris matematis), atau juga hal-hal yang tidak
pernah dan tidak akan pernah ada (fantasi fiktif).
Yang pertama menunjuk kepada kapasitas
persepsi inderawi kesadaran, yaitu kemampuan kesadaran untuk secara
langsung bersentuhan dan menyerap realitas inderawi. Yang kedua menunjuk
kepada kapasitas konseptual dan intelektif kesadaran, yaitu kemampuan
kesadaran untuk secara langsung membentuk gambaran-gambaran
(visualisasi) konsep dan gagasan. Yang ketiga menunjuk kepada kapasitas
memorial dan imaginatif kesadaran, yaitu kemampuan kesadaran untuk
menyusun ingatan, memanfaatkannya, dan membentuk gambaran-gambaran
berbagai hal yang tidak mempunyai rujukan langsung dalam dunia nyata.
Kekhasan dari kapasitas perseptual dan
konseptual kesadaran (1 dan 2) adalah cara kerjanya yang bersifat
presentatif, yaitu kesadaran secara langsung menghadirkan sesuatu
(obyeknya) bagi subyek. Kekhasan dari kapasitas memorial dan imaginatif
(3) adalah cara kerjanya yang bersifat re-presentatif, yaitu kesadaran
secara tidak langsung menghadirkan kembali sesuatu (obyeknya) bagi
subyek dalam bentuk yang tidak lagi asali (original) dan telah
termodifikasi. Kedua cara kerja kesadaran dalam menghadirkan obyek ini
(presentatif dan representatif) selalu bekerja secara bersamaan di dalam
kesadaran kita setiap saatnya. Keduanya tidaklah terpisahkan, namun
dapat dibedakan satu dengan yang lain. Sebagaimana dapat dicermati dari
naskah yang ditulis Husserl sebagai bahan kuliah seminar di Universitas
Göttingen tahun 1907:
“’Melihat’ (kemampuan
penglihatan kita) dapat meluas melampaui keterbatasan momen
kekinian/saat ini, dan dapat menjangkau secara intensional, dalam
rangkaian yang terus menerus, apa yang tidak ada dan tidak lagi ada dan
memastikan bahwa yang tidak ada itu terberikan bagi kesadaran melalui
caranya sendiri yang tidak terbantahkan. Maka perlulah kita membedakan
di satu sisi adanya obyek yang kini ada dan dapat tidak lagi ada, dan di
sisi lain adanya fenomena kekinian dan keberlaluan masa yang lampau,
fenomena durasi dan perubahan, yang dari waktu ke waktu selalu kita
alami sebagai ke-sekarang-an / masa kini. Dalam kategori fenomena
itulah, dalam segala derajat gradasi dan keberlanjutannya, cara berada
kita yang mewaktu menjadi tertampakkan dan hadir tidak terbantahkan.
Obyek bukanlah fenomena, dan tidak semua obyek dapat direduksi ke dalam
fenomena. Tetapi meskipun demikian setiap obyek dikonstitusi di dalam
fenomena (sebagai fenomena), yang melaluinya obyek hadir dan terberikan
bagi kesadaran sebagai sesuatu yang ada di sana.”
Kutipan Husserl di atas semakin
memperjelas bahwa apa yang dimaksud dengan obyek dalam fenomenologi
tidak terbatasi oleh kategori benda-benda material dan melampaui masa
kini. Kutipan Husserl tersebut juga membawa kita masuk ke dalam pokok
pembahasan kedua yang paling penting, yaitu arti fenomena.
Sebagaimana dapat kita baca dalam naskah
Husserl, obyek bukanlah fenomena dan tidak semua obyek dapat
dikategorikan sebagai fenomena. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang
dikatakan Levinas sebagaimana dikutip sebelumnya bahwa tidak semua hal,
tidak semua obyek, bisa disebut sebagai fenomena. Namun demikian, jika
mengikuti alur penjelasan Husserl, agar obyek dapat terpahami sebagai
obyek maka obyek (sesuatu) tersebut perlu dikonstitusi terlebih dahulu
sebagai fenomena. Dengan kata lain, fenomena adalah syarat kemungkinan
atau pengandaian dasar yang harus diandaikan terlebih dahulu agar
kesadaran dapat memahami sesuatu sebagai obyek. Fenomena merupakan
syarat kemungkinan pemahaman yang melaluinya kita dapat memahami dunia.
Bagaimana hal ini bisa dipahami dan dijelaskan lebih jauh?
Penjelasan sederhananya mungkin bisa
dijabarkan sebagai berikut. Dalam pengalaman sehari-hari kita selalu
dikelilingi dan dilingkupi oleh berbagai macam hal disekitar kita.
Melalui persepsi inderawi kita bersentuhan dengan hal-hal di sekililing
kita itu, baik kita sadari ataupun tidak (spontan). Berbagai hal di
sekeliling kita itulah dunia obyek yang membentuk realitas perseptual di
sekitar kita, atau dalam bahasa Husserl disebut sebagai dunia di dalam
jangkauan kita (umwelt). Dari semua obyek yang melingkupi kita itu tidak
semuanya dapat kita persepsi dan tidak semuanya kita pahami. Inilah
mengapa kesadaran kita akan obyek pertama-tama selalu bersifat
perspektif, yaitu kita pertama-tama pastilah mengalami sesuatu dari sisi
persepsi dan sisi pemahaman yang tertentu. Tidak mungkin kita secara
serentak dapat mempersepsi keseluruhan obyek. Apalagi obyek-obyek
material di sekeliling kita bersifat kontigen, yaitu dapat ada tetapi
dapat juga tidak ada, terus menerus berubah setiap saatnya. Sementara
obyek-obyek konseptual dan imaginatif juga terus-menerus mengalir di
dalam benak kita.
Sifat kontigen obyek ini, dan juga ciri
perspektif kesadaran, dua hal inilah yang menyebabkan mengapa dunia
obyek memberikan bagi kita cakrawala kemungkinan persepsi dan pemahaman
yang tidak terbatas. Artinya, kita selalu dapat mempersepsi suatu obyek
dari sisi lainnya yang berbeda, dan kita akan selalu dapat mengganti
sudut persepsi kita. Maka akan selalu terdapat beragam kemungkinan sudut
pandang terhadap sebuah obyek yang sama. Inilah juga mengapa persepsi
dan pemahaman kita atas dunia di sekitar kita (umwelt) ditandai oleh
satu ciri penting, yaitu selalu bersifat tematis. Tematis artinya bahwa
obyek-obyek di dalam jangkauan persepsi kita selalu hadir bagi kesadaran
sebagai sesuatu yang kita hadapi dan kita alami secara khas menurut
perspektif pengalaman kita yang tertentu. Dari sekian banyak obyek di
sekitar kita hanya obyek-obyek yang memiliki relevansi dengan keberadaan
kita sajalah yang menjadi fokus perhatian atau kepedulian kita. Sebuah
pohon belimbing di pekarangan rumah mungkin tidak berbeda dengan pohon
belimbing di tempat lain, namun pohon belimbing di pekarangan rumah itu
mungkin memiliki arti lebih bagi keluarga penghuni rumah karena
konstitusi pengalaman masa lalu yang khas yang dimiliki keluarga
tersebut. Demikian juga berbagai hal di sekitar kita, seperti buku,
gelas, meja, kursi, mobil, motor, masa lalu, peristiwa, dsb, termasuk
juga endapan ingatan dalam kesadaran kita beserta imajinasi yang
ditimbulkannya, semua obyek itu hadir bagi kita menurut cara yang khas
bagi kita.
Martin Heidegger akan menyebut relasi
dengan dunia keseharian di sekitar kita itu sebagai relasi yang ditandai
oleh ‘suasana hati’ (Stimmung / mood). Husserl menyebut relasi dengan
umwelt itu sebagai karakter dasar intensionalitas, atau yang disebut
juga sebagai Erlebnis / lived experience (pengalaman yang
dihayati/memiliki arti khusus bagi subyek). Maka jelas bahwa setiap
obyek sebelum ia disadari sebagai obyek pada dirinya (in itself),
terlebih dahulu obyek itu niscaya berelasi dengan subyek kesadaran
sebagai obyek bagi diriku atau orang yang tertentu (for me). Inilah ciri
pokok dari intensionalitas kesadaran yang mendahului segala aktivitas
pengetahuan dan metode ilmiah. Dalam Cartesian Meditations dapat kita
baca:
“Dunia, beserta segala
obyeknya, memperoleh seluruh makna dan status keberadaannya dari, dan
hanya dari, kesadaran-diri sebagai Ego transendental sebagai syarat
kemungkinannya. […] Namun dalam kaitan ini perlulah diperhatikan hal
berikut ini: Ego yang telah melalui reduksi fenomenologis itu bukanlah
sekadar bagian kecil dari dunia (layaknya benda-benda), sebaliknya juga,
dunia beserta segala obyeknya bukanlah sekadar bagian kecil dari Ego
kesadaranku (layaknya paham Idealisme). […] Meskipun tetap perlu diingat
bahwa status validitas dari adanya sesuatu hanya dapat berasal bukan
dari sesuatu itu sendiri, melainkan dari kesadaran akan sesuatu itu.”
Kutipan di atas kiranya semakin
memperjelas arti fenomena dalam kaitan/perbedaannya dengan obyek. Obyek,
apapun itu, secara tidak terbatas merupakan semesta dunia tersendiri
yang kepadanya kesadaran terarah. Semesta obyek ini membentuk
saling-keterkaitan di antara realitas obyektif yang tidak terbatas
(Sachverhalt), yang membentuk juga horizon pengalaman dan horizon
pemahaman kita. Obyek bukan atau belumlah merupakan fenomena. Bagian,
sisi, atau dimensi tertentu dari obyek yang hadir bagi kesadaran dan
dipersepsi menurut konstitusi pemahaman dan pola penghayatan yang
partikular, itulah fenomena. Obyek pada dirinya sendiri tidak
mensyaratkan adanya intensionalitas kesadaran, sebab setiap obyek dapat
ada ataupun tidak ada secara kontigen. Fenomena, sebaliknya, baru dapat
disebut sebagai fenomena jika mengandaikan adanya keterarahan kesadaran
pada suatu obyek, yang melalui keterarahan itu obyek memberikan diri
(menghadirkan diri/menampakkan diri) sebagai sesuatu yang memiliki arti
tertentu bagi orang bersangkutan. Fenomena selalu terkait secara
mendasar dengan kesadaran. Setiap kesadaran-akan-sesuatu sebetulnya juga
merupakan sebuah bentuk fenomena.
Perlu diingat bahwa fenomena, sebagaimana
kesadaran, selalu merupakan sebuah perspektif dan karena itu selalu
bersifat partikular. Namun demikian, seperti telah kita lihat
sebelumnya, setiap fenomena selalu memuat sesuatu yang lebih dari apa
yang tertampakkan hic et nunc. Oleh karena setiap fenomena
mengandaikan adanya sesuatu yang lebih di belakangnya, sesuatu yang
melampaui apa yang tertampakkan, maka fenomena selalu mengarahkan
kesadaran kita kepada keseluruhan / keutuhan obyek. Bagian demi bagian,
sisi demi sisi, lapis demi lapis fenomena merupakan tanda yang
tertampakkan dari keseluruhan obyek yang belum sepenuhnya tertampakkan
atau terpahami.
Namun demikian, kesadaran sebetulnya
sejak awal telah selalu mengantisipasi obyek dalam
keutuhan/keseluruhannya, yaitu dengan membentuk gambaran
mental-konseptual mengenai keseluruhan suatu obyek. Saat melihat sisi
depan sebuah rumah misalnya, kesadaran kita selalu sudah membentuk
gambaran mental-konseptual mengenai bentuk keseluruhan rumah dari segala
sisinya yang tiga dimensi itu. Hal yang sama berlaku jika kita
menghadapi obyek-obyek lain, mengalami suatu peristiwa, memahami
konsep-konsep filsafat, memecahkan persamaan matematis yang sulit,
berjumpa dengan orang lain, dan sebagainya. Gambaran mental-konseptual
yang terbentuk dalam kesadaran mengenai keseluruhan/keutuhan suatu
obyek, inilah yang disebut sebagai intuisi (Wesenanschauung).
Mengacu pada contoh di atas, jika kita memasuki pintu depan rumah
tersebut, dan ternyata kita menemukan diri kita berdiri di tengah
hamparan lapangan, dan bahwa sisi depan rumah tersebut hanyalah papan
yang digunakan untuk keperluan pentas teater, maka intuisi kita disebut
sebagai intuisi kosong (empty intuition). Sebaliknya, jika kita
memasuki pintu depan rumah tersebut, dan menemukan bahwa rumah itu
memiliki berbagai ruang di dalamnya, berbagai sisinya yang lain yang
berdimensi tiga menyerupai gambaran mental-konseptual kita, maka intuisi
kita disebut sebagai intuisi yang terpenuhi (fulfilled intuition).
Dengan demikian, jika persepsi
menunjukkan sifat perspektif kesadaran di hadapan suatu fenomena menurut
bagian atau sisinya yang tertentu, maka intuisi menunjukkan sifat
antisipatif kesadaran dalam melihat, mengalami, dan memahami suatu
fenomena sebagai suatu keseluruhan. Maka jelaslah bahwa fenomena hanya
dimungkinkan sebagai fenomena melalui intensionalitas kesadaran yang
memuat di dalamnya baik persepsi maupun intuisi sebagai akses langsung
yang kita miliki menuju kepada sesuatu dalam keseluruhan dan
keutuhannya. Maka semboyan terkenal fenomenologi, yaitu zu den Sachen
selbst (to the things themselves) bukan berarti kembali kepada
fakta-fakta bendawi dan inderawi semata, melainkan lebih mendasar dari
itu adalah kembali kepada fenomena itu sendiri sebagaimana menampakkan
diri/menghadirkan diri bagi kesadaran melalui caranya yang khas. Sebab
fenomena adalah akses utama kesadaran kita terhadap suatu obyek, apapun
itu. Sesuai dengan tujuan semboyan ini, melalui analisis atas fenomena
hendak diungkapkan tiga hal pokok: 1) struktur konstitutif yang
membangun kesadaran kita sendiri (dalam fenomenologi disebut sebagai
kesadaran-diri transendental), 2) struktur dasar yang mendasari adanya
suatu obyek dan menopang keberadaan obyek tersebut, 3) dimensi
menyeluruh dari obyek yang bersangkutan.
Bagi fenomenologi, ketiga hal inilah yang
menyatukan kesadaran diri kita dengan dunia yang melingkupi kita,
mengikat apa yang internal dan apa yang ekternal, menengahi apa yang
subyektif dan apa yang obyektif. Tanpanya kesadaran tidak lebih dari
materialitas dunia yang terfragmentasi ke sana kemari bersama dengan
cepatnya perubahan struktur dunia obyek material, atau tidak lebih atom
yang tidak mampu keluar dari keterbatasan dirinya dan terpenjara di
dalam dirinya sendiri.
Persis inilah kritik fenomenologi
terhadap saintisme dan naturalisme. Dengan membatasi obyek hanya pada
fakta-fakta kasatmata (material) yang dapat dipersepsi lewat
penginderaan dan metode sains, ilmu-ilmu modern telah menjatuhkan status
dunia ke dalam fakta telanjang belaka, dan menjatuhkan status kesadaran
semata-mata ke dalam kondisi alamiah-instingtif yang tidak berbeda dari
benda-benda serta makhluk-makhluk alam lain. Relativisme dan nihilisme
adalah konsekuensi niscaya yang muncul. Padahal dari pembahasan perihal
fenomena di atas, kita memahami bahwa analisis atas fenomena
mengandaikan peran kesadaran dalam segala kedalamannya, dan status obyek
dalam segala keluasannya. Sementara fakta adalah obyek yang dibatasi
semata-mata ke dalam satu aspeknya saja, atau lebih tepatnya, satu sisi
obyek yang dimutlakkan sebagai menyeluruh. Dengan memutlakkan apa yang
faktual maka satu sisi obyek telah disalahpahami sebagai keseluruhan.
Padahal fakta itu sendiri akan niscaya berubah-ubah bersama dengan
berubahnya struktur obyek. Karena alasan inilah maka Husserl menegaskan
bahwa seluruh pendekatan ilmu-ilmu alam adalah naif sifatnya. Naif sebab
menyalahpahami perbedaan dasar antara fakta (satu sisi obyek) dan
fenomena (obyek bagi kesadaran). Sebagaimana dapat kita baca:
“Berkaitan dengan titik tolaknya, seluruh ilmu alam adalah naif.
Apa yang hendak diselidikinya semata-mata ada di sana. Tentu saja apa
yang ada itu meliputi berbagai hal, sebagaimana ada yang diam, ada yang
bergerak, ada yang berubah, ada di dalam ruang yang tidak terbatas, ada
di dalam waktu yang tidak terbatas. Kita memahami semua itu,
menjabarkannya, semata-mata lewat cara kerja empirik yang sederhana.
Inilah tujuan ilmu-ilmu alam […] Padahal, segala hal fisik tidaklah
begitu saja dapat membentuk dunia bagi dirinya sendiri. Segala hal fisik
itu pertama-tama terberikan bagi kesadaran, atau sebagai
pengalaman-akan-kesadaran. Kenyataan ini sesungguhnya juga merupakan
data awal yang membuktikan dirinya sendiri.”
Hilangnya prioritas kesadaran dalam cara
kerja ilmu-ilmu modern inilah yang mendasari penegasan Husserl bahwa
seluruh ilmu alam adalah naif. Akibat dari hilangnya kesadaran dalam
cara kerja ilmu adalah terjadinya pemutlakkan obyektivitas faktual yang
sebetulnya tidak pernah sungguh-sungguh obyektif, melainkan selalu
mengandaikan inter-subyektivitas kesadaran. Kenaifan inilah yang
kemudian menyebabkan munculnya keterputusan/patahan antara metode ilmu
sebagai sebuah alat kerja dan manusia yang berkepentingan terhadap alat
kerja tersebut. Dalam naskah yang ditulis Husserl menjelang akhir
hidupnya, patahan inilah yang menjadi sumber hilangnya keseimbangan
antara manusia dan dunianya, antara dunia fakta-fakta dan bagaimana
kesadaran memahami fakta-fakta tersebut. Keterputusan atau patahan di
antara manusia dan dunia itulah yang disebut Husserl sebagai ‘krisis’.
Berbagai bencana kemanusiaan, alam, dan teknologi yang pernah, sedang,
dan akan terjadi adalah konsekuensi logis yang muncul dari krisis
tersebut.
Tentu saja fenomenologi bukannya menolak
segala bentuk pendekatan faktual. Faktanya, fenomenologi sendiri
bertolak dari faktualitas obyek dan untuk itu juga mengacu kepada
pendekatan faktual. Apa yang dipersoalkan oleh fenomenologi bukanlah
fakta itu sendiri, melainkan kesalahpahaman dalam memahami fakta sebagai
kebenaran akhir dan satu-satunya kriteria ilmiah. Pertanyaannya
kemudian, sejauh mana fenomenologi, sebagaimana diinisiasi oleh Husserl,
mampu menerobos proses penyempitan cara berpikir/kesadaran
manusia-manusia kontemporer yang lewat perkembangan teknologi dan
globalisasi telah menggejala secara massif?
Untuk kita di Indonesia, mungkin kita bisa mulai merenungkan kembali
kata-kata seorang profesor filsafat, yang di tahun 1978 telah jauh-jauh
hari menekankan pentingnya ilmu filsafat (dan fenomenologi) sebagai
kesadaran kritis:
“Filsafat adalah suatu
disiplin ilmiah yang bertugas untuk membuat kita dapat memahami
implikasi-implikasi dari segala gejala yang setiap hari membanjiri, agar
kita dapat menilainya, mengritiknya, menemukan jarak dan dapat
mengambil sikap terhadapnya. […] Di Indonesia pun kita semakin sadar
akan sifat ideologis yang terselubung di belakang pragmatisme pendekatan
teknokratis dan apa yang disebut depolitisasi. […] Filsafat macam itu
bukanlah suatu lux (kemewahan) dalam masyarakat, melainkan suatu
keharusan. Apakah kita mau dengan mata buta membebek saja di belakang
sesuatu yang oleh para tukang jual Rinso dan Lemonpledge ditawarkan
sebagai kemajuan? Dengan mengotori sungai-sungai dan lautan kita,
merusak lingkungan alam dan manusia, menjebol akar-akar kesosialan
manusia dan membuang mereka sebagai individu telanjang ke aspal
jalan-jalan di kota-kota besar?” ***
Catatan-catatan
[i] Franz Graf von Magnis, S.J, “Prospek Filsafat di Indonesia dalam
Masyarakat – Bahan untuk Diskusi Panel tgl 29-9-1978,” Majalah Filsafat
DRIYARKARA, tahun VIII, nomor 1, Mei 1979, hlm. 16.
[ii] Dalam kamus Yunani – Inggris ‘Liddell and Scott’ kita akan membaca
definisi phainō atau phainetai sebagai berikut: to bring to light, make
to appear, to appear to be, what is apparent or manifest, be appears.
Lihat Liddell and Scott’s Greek-English Lexicon, Oxford: The Clarendon
Press, 1982, hlm. 750. Mengacu pada keterangan ini, maka penggunaan
istilah ‘fenomena’ dalam fenomenologi sebetulnya tidak jauh berbeda dari
definisi asali dalam bahasa aslinya Yunani, yaitu apa yang tertampakkan
atau menghadirkan diri bagi kita.
[iii]Edmund Husserl, “Philosophy as Rigorous Science,” dalam Quentin
Lauer, Phenomenology and the Crisis of Philosophy, New York: Harper
& Row, 1965, hlm. 116.
[iv] Emmanuel Levinas, Discovering Existence with Husserl,
diterjemahkan oleh Richard A. Cohen dan Michael B. Smith, Evanston:
Northwestern University Press, 2000, hlm. 33.
[v] Edmund Husserl, Cartesian Meditations – An Introduction to
Phenomenology, diterjemahkan oleh Dorion Cairns, The Hague: Martinus
Nijhoff, 1973, hlm. 46, § 20.
[vi] Edmund Husserl, The Idea of Phenomenology, terjemahan William P.
Alston, dengan Pendahuluan oleh George Nakhnikian, The Hague: Martinus
Nijhoff, 1973, hlm. 52, naskah kuliah ke V.
[vii] Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and
Transcendental Phenomenology – An Introduction to Phenomenological
Philosophy, diterjemahkan, dan diberi Pendahuluan, oleh David Carr,
Evanston: Northwestern University Press, 1970, hlm. 25, 31, § 9.
[viii] Edmund Husserl, Cartesian Meditations – An Introduction to Phenomenology, hlm. 61, § 28.
[ix] Edmund Husserl, Cartesian Meditations – An Introduction to Phenomenology, hlm. 26, § 11.
[x] Edmund Husserl, Cartesian Meditations – An Introduction to Phenomenology, hlm. 46, § 20.
[xi] Edmund Husserl, Logical Investigations – Volume II, terjemahan
J. N. Findlay, New York: The Humanities Press, 1970, hlm. 698-701, § 9 –
§ 10.
[xii] Edmund Husserl, “Philosophy as Rigorous Science,” hlm. 85.
[xiii] Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and
Transcendental Phenomenology – An Introduction to Phenomenological
Philosophy, hlm. 5-7, § 2.
[xiv] Franz Graf von Magnis, S.J, “Prospek Filsafat di Indonesia
dalam Masyarakat – Bahan untuk Diskusi Panel tgl 29-9-1978,” Majalah
Filsafat DRIYARKARA, tahun VIII, nomor 1, Mei 1979, hlm. 16.
Untuk mendapatkan naskah dalam bentuk PDF silakan mengklik: "WHAT IS PHENOMENA – APA ITU FENOMENA"