Bersiasat dengan Konflik
Ito Prajna-Nugroho,
Peneliti Bidang Filsafat Politik dan Teori Konflik pada Lembaga Studi Terapan Filsafat
Peneliti Bidang Filsafat Politik dan Teori Konflik pada Lembaga Studi Terapan Filsafat
Sekitar 5 tahun lalu, kelompok kajian khusus tentang konflik yang
bernaung di bawah bendera sebuah lembaga internasional, ViCIS (Violent
Conflict in Indonesia Study), menerbitkan laporan singkat untuk panduan
kebijakan nasional. Laporan singkat itu menyampaikan bahwa demokratisasi
dan otonomi daerah telah mengubah peta konflik, dan membuat konflik di
Indonesia menjadi lebih bersifat lokal, berskala kecil, tapi sporadis
menyebar di sana-sini. Api yang akan membakar konflik-konflik tersebut
adalah persoalan keadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Laporan itu,
sebagaimana nasib kebanyakan hasil studi di Indonesia, mungkin telah
masuk arsip entah di mana, luput dari perhatian.
Sebagai negara yang bhinneka dalam hal suku bangsa, muda dalam
hal demokrasi, setiap peringatan dini akan konflik layak mendapatkan
perhatian khusus. Beberapa kasus konflik yang terjadi selama
pemerintahan Joko Widodo mengafirmasi simpulan penelitian tersebut.
Sebut saja kasus konflik di Batam, Paniai, Tolikara, dan Kampung Pulo
belum lama ini. Belum lagi besarnya kemungkinan konflik yang dapat
muncul menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9
Desember nanti. Apalagi situasi ekonomi yang semakin berat membuat
banyak warga tergelincir ke tingkat bertahan hidup (survival)
sehari-hari.
Akar konflik biasanya diasalkan ke persoalan separatisme dan
radikalisme, atau ke tuntutan kesejahteraan dan pemerataan, yang
semuanya terkait dengan persoalan ekonomi. Meski tentu benar motif
ekonomi meresap di balik hampir setiap konflik, satu dimensi yang sering
luput diperhitungkan dalam menghadapi kerentanan konflik adalah dimensi
sosial-budaya. Semakin seseorang terdesak kebutuhan survival, dia akan
semakin abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan semakin acuh terhadap
norma-norma sosial-budaya. Desakan tuntutan hidup sering kali membuat
manusia berubah brutal, tanpa ia sadari. Penyebabnya sederhana, nilai
budaya tidak lagi memiliki relevansi dalam menopang pergulatan hidup
yang paling dasar. Mekanisme penghargaan-diri dan penghargaan sosial
yang awalnya membuat seseorang bersedia berkompromi mematuhi nilai-nilai
sosial budaya, kini tidak lagi mampu memberikan makna dan terang budi
bagi pergulatan kelangsungan hidup di tingkat dasar. Asimetri, atau
ketidakseimbangan di antara brutalnya pergulatan hidup dan mulianya
tuntutan sosial, inilah akar dari segala disorientasi dan konflik.
Menghadapi asimetri sosial-budaya ini, beberapa terobosan negara
dalam menyiasati konflik patut diacungi jempol. Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, melalui Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi
Budaya, secara intensif pernah menyelenggarakan program "Internalisasi
Nilai Damai" di seluruh daerah rawan konflik di Indonesia sekitar 2013
hingga 2014. Demikian juga Kementerian Pertahanan saat ini mulai
menggiatkan kembali panji "Bela Negara" dan mulai menyiapkan
infrastruktur terkait untuk mendukung program tersebut, seperti
Pusdiklat Bela Negara.
Namun, dalam permasalahan konflik, pengelolaan di tingkat mikro
(micro management) jauh lebih dibutuhkan daripada konsep-konsep makro
mengenai teori kebudayaan dan pertahanan. Ini juga berarti perlunya
efektivitas kerja sama antar-kementerian, dan terobosan-terobosan
program lintas kementerian yang langsung menyentuh masyarakat di semua
lapisan sosial. Di tingkat mikro manajemen ini, pertahanan bermakna
lebih dari sekadar pameran alutsista, dan kebudayaan bermakna lebih dari
sekadar pergelaran.
Efektivitas penerapan program lintas-kementerian di aras mikro
adalah kunci dalam bersiasat dengan konflik baik di tingkat lokal maupun
nasional. Ini juga berarti hambatan psikologis, yaitu ego sektoral
masing-masing kementerian, harus mengalah demi tujuan yang lebih besar,
yaitu keutuhan Republik. Seperti telah dibuktikan sepanjang sejarah
peradaban manusia, rahasia keberhasilan suatu siasat terletak pada
kepemimpinan.
Berhadapan dengan kerentanan konflik, layaknya musuh tersembunyi
yang dapat menyergap di mana saja, kapan saja, kualitas kepemimpinan
Joko Widodo sebagai pengemban tanggung jawab tertinggi di Republik ini
mungkin akan diuji hingga ke batas terjauhnya. Apalagi pepatah kuno
peninggalan peradaban Romawi pernah mengatakan bahwa retaknya suatu
bangsa tidak berasal dari bangsa lain, melainkan bersumber dari dalam
bangsa itu sendiri.
Bersiasat dengan konflik, atau menyiasati benturan
antar-kepentingan, menjadi tanggung jawab berat yang harus ditanggung
pemimpin, siapa pun dia. Siasat untuk menyiasati konflik ini selayaknya
juga menyadarkan para elite politik untuk berhenti bersiasat satu sama
lain. Sebab, terlalu besar pengorbanan yang harus dibayar dari setiap
tetes darah dan air mata yang tertumpah akibat konflik yang terlambat
diantisipasi.
Sumber : http://koran.tempo.co/konten/2015/08/22/380659/Bersiasat-dengan-Konflik