Surat Terbuka JAPHEC kepada FENOPOL Group
Perkenalan saya dengan fenomenologi
adalah ketika menempuh studi di Universitas Pertahanan Indonesia. Dalam
satu program studi yang jarang diberikan tapi mendasar saya mendapatkan
mata kuliah Philosophy of Peace and Conflict Resolution (PCR UNHAN). Tajam dan jernihnya kuliah-kuliah yang diberikan oleh Prof. Franz Magnis-Suseno, Romo Setyo Wibowo, dan abang Ito Prajna-Nugroho,
semuanya sangat menggugah saya untuk mendalami filsafat khususnya
fenomenologi yang dibawakan oleh bang Ito Prajna. Semangat untuk
menyebarkannya walau dengan pengetahuan yang terbatas adalah saat
diskusi-diskusi intensif bersama bang Ito Prajna-Nugroho di sebuah café 24 jam di bilangan Sarinah, di tengah hiruk pikuk hasrat dan lalu lalang manusia di Jakarta Pusat.
Saya menyadari bahwa motif saya untuk mendalami fenomenologi adalah mendalami fenomenologi sebagai alat bantu gerakan sosial (Buku Fenomenologi Politik – Membongkar Politik Menyelami Manusia, bagian Pengantar oleh Bpk. Sudaryanto). Karena itu tidak salah ketika saya katakan bahwa di Jayapura kami akan membangun gerakan fenomenologi dengan ‘gaya jalanan’ atau “phenomenology on the street”. Istilah tersebut pertama kali secara resmi terlontar pada bedah buku Fenomenologi Politik (Fenopol) karya bang Ito Prajna-Nugroho di Universitas Indonesia bersama Dr. Donny Gahral Adian pada 26 Mei 2014.
Dari proses-proses tersebut (diskusi di
kelas PCR Unhan dan di Sarinah) akhirnya terpikirkan membangun sebuah
gerakan fenomenologi di Papua, yang dinamakan dengan Jayapura Phenomenology Circle (Japhec),
pada tanggal 8 April (persis dengan tanggal dan bulan lahir bapak
fenomenologi). Saya pikir ini adalah sebuah apresiasi yang tidak
berlebihan kepada Husserl.
Hampir sebagian besar teman-teman yang tergabung dalam Japhec adalah kader, pengurus atau simpatisan dari Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GEMAPI),
sebuah organisasi kepemudaan non-partisan yang bertujuan mengembangkan
bakat dan kepemimpinan generasi muda (mahasiswa). Maka dengan
memperkenalkan fenomenologi saya berharap bisa membantu mengembangkan
organisasi ini dengan didahului oleh perubahan pola pikir kader dan
pengurus.
Menerapkan filsafat dan metodologi
fenomenologi dalam kepemimpinan sangat menarik. Ini adalah fenomena
tersendiri. Dalam pengalaman saya, dengan menggunakan fenomenologi
sebagai alat bantu mendidik kader, proses transformasi yang terjadi pada
kader sangat luar biasa. Tidak hanya teman-teman dekat yang menyaksikan
perubahan tersebut tapi kader yang bersangkutan juga mampu memaknai
proses perubahan yang sedang berlangsung pada dirinya. Perspektif
fenomenologi membantu saya mendorong kader untuk mengalami sendiri.
Kader juga semakin bertanggungjawab, yakni mau mengakui berbagai
responnya terhadap situasi hidup nyata sebagai responnya sendiri.
Seorang yang bertanggungjawab atas dirinya akan mampu berkata: “Saya adalah Saya!”.
Setiap kader bertanggung jawab atas
dirinya sendiri. Setiap kader didorong untuk mengendalikan jiwanya.
Banyak masalah di dunia ini diciptakan oleh orang-orang yang tidak mampu
mengendalikan diri dan memproyeksikan atau melemparkan permasalahannya
pada orang lain. Mengendalikan diri berarti menentukan batas-batas
perilaku ekspresi diri sendiri. Sifat-sifat positif seseorang merupakan
kontribusi yang sangat baik bagi kehidupan. Namun, bila sifat-sifat itu
dipaksakan melampaui batas atau berlebihan, maka akan menjadi beban bagi
dunia sekitarnya.
Kader menjadi lebih sadar untuk
mempergunakan karunia-karunia yang dimiliki bagi kesejahteraan orang
lain. Seseorang yang tidak mengenal batas dalam memuaskan keinginannya
akan terus-menerus iri mendengki pada apa yang dimiliki oleh orang lain.
Pengalaman yang saya alami juga yakni dengan menggunakan metode reduksi fenomenologi (epoché)
kita menjadi semakin bersikap sadar, cermat, dan berhati-hati tanpa
terjebak dalam jebakan negative thinking. Untuk menghargai pengalaman
yang dialami, kami sepakat Kos tempat tinggal salah satu teman Japhec
disepakati sebagai Epoché Room.
Fenomenologi juga sejalan dengan hukum
kepemimpinan yakni hukum intuisi. Hukum intuisi adalah hukum tersulit
dari seluruh prinsip fenomenologi dan hukum kepemimpinan.
Kelebihan metode ini adalah membantu
kader untuk benar-benar fokus pada panggilan
(keterarahan/intensionalitas) hidup. Fenomena yang nampak adalah mereka
mulai menata kembali jadwal aktivitasnya dan mengurangi agenda pribadi
yang sifatnya jalan-jalan dan refreshing. Ini tidak berarti hidup mereka jauh dari refreshing, tetapi memadukan kehidupan organisasi, panggilan hidup, dan refreshing sekaligus. Dengan kata lain mencoba untuk mengefisienkan dan mengefektifkan gerakan.
Peningkatan intensionalitas berarti
semakin terarahnya atau semakin disadarinya perilaku kader. Hal ini
meliputi pemahaman akan berbagai motifasinya yang terdalam. Kader
menjalani kehidupan dengan tingkat kesadaran yang sangat tinggi sehingga
mampu mengenali akibat positif atau negatif yang ditimbulkannya
terhadap orang lain. Kader menjadi lebih mampu mengendalikan
gerakan-gerakan tersembunyi yang berlangsung di dalam jiwa atau
batinnya.
Setiap kader membutuhkan waktu untuk
mengenali dirinya agar mencapai keseimbangan sehingga mampu mengatasi
tekanan dan permasalahan hidup dengan lebih baik. Kader menjadi lebih
sering mendengarkan apa yang berlangsung di dalam dirinya, sehingga
mampu mengatur proses-proses yang berlangsung di dalam dirinya serta
memberikan respons yang lebih efektif terhadap situasi kehidupan.
Fenomenologi menantang setiap kader untuk
menguasai keterampilan mengintervensi proses-proses pembentukan
kesadaran di dalam dirinya. Mengintervensi proses-proses pembentukan
kesadaran di dalam diri seseorang akan menjadikan dirinya lebih efektif
dalam menghadapi tugas dan tanggung jawab.
Dengan pendekatan fenomenologi di GEMAPI,
para kader juga semakin menyadari pentingnya persahabatan. Hal-hal
sederhana yang termasuk dalam everday lifeworld seperti sms,
telpon, dibahas lalu dianalisis apa dasarnya dan kemana arahnya. Atau
misalnya mantan pacar yang ajak balik juga ditanggapi dengan cara yang
tak biasa tetapi dengan melihat apa dasar di belakang fenomena itu.
Setiap orang berada dalam jalinan relasi, pertama-tama relasi dalam
dirinya sendiri dan kemudian relasi persahabatan dengan orang lain.
Setiap orang tidak akan bisa menjalin persahabatan secara bermakna
seandainya ia belum mamahami, menerima, dan menghargai dirinya sendiri
serta bergulat dengan dirinya sendiri sebelum menjalin persahabatan
dengan yang lain. Hanya bila orang merasa aman dengan dirinya sendiri,
maka ia akan mampu mengembangkan hubungan yang bermakna dan langgeng
dengan yang lain.
Dengan pendekatan fenomenologi Kader
GEMAPI menjadi sadar pentingnya berkomunikasi dengan dirinya sendiri:
apakah berpikir saya sudah lurus? Apakah pribadi saya punya integritas?
Sudah jernihkah saya membaca fenomena? Sudah benarkah langkah perjuangan
saya? Sudah tepatkah saya menempatkan diri dalam kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan?
Dalam perjalanan GEMAPI dan juga Japhec,
saya menyadari bahwa untuk menyebarluaskan gerakan fenomenologi secara
lebih efektif adalah dimulai dengan diri sendiri. Jika kita mampu
mengubah diri kita, orang disekitar kita akan mudah berubah. Lakukan
perkara kecil terlebih dahulu, maka kepadamu akan dipercayakan
perkara-perkara besar. Japhec dalam proses pergumulan fenomenologi
mengerti bahwa bekerja dengan siapa lebih penting daripada mengerjakan
apa. Ini menurut kami bukanlah sebuah arogansi, melainkan pemahaman yang
mendalam bahwa jika kita ingin menjadi rajawali, kita harus bergaul
dengan rajawali, bukan dengan burung beo! Dan pergaulan tersebut
haruslah intens.
Ada istilah yang dikembangkan oleh Japhec, yakni membedakan antara membaca/melihat dengan rasio instrumental belaka (untuk menjelaskan apa yg dimaksud oleh bang Ito Prajna yakni penafsiran gampang-gampangan atau natural attitude) dan membaca dengan intuisi (untuk menjelaskan apa yg dimaksud oleh bang Ito Prajna yakni secara hati-hati dan cermat atau phenomenological attitude).
Saya duga, saat Huserl mengajar, banyak
mahasiswa yang tertarik tetapi hanya tertarik pada fenomenanya saja
(cara mengajarnya) bukan dasarnya (apa yang diajarkan). Heideger adalah
salah satu mahasiswanya yang mencoba memahami kuliah-kuliah Husserl
dengan Intuisi. Dengan menyaksikan misalnya Heideger dan Freud menjadi
pemikir besar maka Husserl telah berhasil untuk memprovokasi
mahasiswanya untuk mengembangkan fenomenologi.
Mungkin saja Husserl dan Heideger tidak
hanya berhubungan sebatas mahasiswa dan dosen atau dosen senior dan
asisten dosen tetapi bisa jadi keduanya adalah sahabat dekat.
Epoché menurut Jhapec adalah
sebuah upaya mengendalikan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu adalah salah
satu hasrat yang jika tidak dikendalikan bisa berbahaya. Misalnya
ketika kita mengetahui bahwa ada orang yang membicarakan kita
(menjelek-jelekan kita), kita menjadi berhasrat untuk mengetahui siapa
orang tersebut. Hal ini bisa berujung pada semakin buruknya hubungan
kita dengan orang tersebut. Dengan mengendalikan rasa ingin tahu, kita
menjadi terfokus pada apa yang dikatakan, sehingga jika apa yang
dikatakan itu perlu dan baik bagi kita, kita lakukan. Jika kita sudah
melakukannya, ada harapan orang yang tadi menjelek-jelekan kita menjadi
baik kembali sebab apa yang tdk disukai olehnya sudah kita ubah. Dan
kita berubah bukan karena demi tidak memiliki musuh, tetapi justru
karena kita bertindak adil bagi diri kita (Platon nya A. Setyo Wibowo,
SJ). Dengan sendirinya dengan ber-epoché kita melakukan perawatan jiwa.
Sambutan saya pada pembukaan latihan
kader I GEMAPI angkatan V pada september 2014, saya beri judul merawat
Jiwa GEMAPI. Bagaimana merawat jiwa GEMAPI, dimulai dengan merawat jiwa
para pemimpin tertinggi pada GEMAPI. Transformasi sosial tidak mungkin
terjadi tanpa transformasi pribadi. Dalam sejarah kita menyaksikan
banyak orang yang tidak mampu mengendalikan perilaku kompulsif. Banyak
kehidupan dikorbankan akibat perilaku kompulsif mereka yang tidak mampu
mengendalikan diri. Banyak pemimpin yang bertindak seperti Tuhan: tidak
menghormati martabat pengikutnya. Bilamana para pemimpin tidak
menjunjung martabat seorang pribadi melebihi prinsip, idiologi, atau
visi mana pun, maka masih akan terus terjadi dehumanisasi (buku Fenomenologi Politik – Membongkar Politik Menyelami Manusia, Bab 4).
Akhirnya, mungkin terlalu muluk, tapi kami ingin bermimpi yang sedikit gila, bahwa Japhec ingin fenomenologi menjadi modus vivendi dan horizon Lebenswelt bagi sebanyak mungkin orang yang bisa tersentuh tergerak oleh Japhec.
Republik Indonesia, 22 Nopember 2014
Jayapura Phenomenology Circle (JAPHEC), atas nama perwakilan Japhec, Habelino Sawaki
Sumber : https://fenomenologipolitik.wordpress.com/2014/11/27/surat-terbuka-japhec-kepada-fenopol-group/