Seorang
filsuf politik dari abad ke-17, Thomas Hobbes (1588-1679), mengajukan
sebuah rumusan menarik tentang sifat dasar kekuasaan:
“Pertama-tama, saya
tetapkan sebagai dorongan paling dasar semua manusia, yaitu hasrat
terus-menerus (perpetual) dan tak kenal lelah (restless) untuk mengejar
kekuasaan demi kekuasaan. Hasrat ini hanya akan berhenti dalam
kematian.”[i]
Beberapa baris kemudian Hobbes melanjutkan:
“Sebab dari hasrat ini
tidak lain karena manusia tidak dapat sepenuhnya menjamin
keberlangsungan hidupnya saat ini (kuasa dan cara ia berkuasa) tanpa
adanya dorongan untuk selalu mau memiliki lebih dari apa yang telah ia
punya. Hukum adalah cara untuk menjamin keberlangsungan hidup itu di
dalam wilayah kekuasaannya. Perang adalah cara untuk menjamin
keberlangsungan hidup di luar wilayah kekuasaannya. Setelah itu semua
tercapai, semua hasrat lain akan mengikuti satu demi satu, hasrat
sensual, hasrat terkenal, hasrat dipuja, hasrat kesempurnaan, atau dalam
diri sedikit orang termasuk juga hasrat berpikir.”[ii]
Thomas Hobbes mengajukan rumusan ini
dalam bukunya yang terkenal hingga saat ini, yaitu Leviathan (terbit
pada 1651). Dengan mengajukan rumusan di atas Thomas Hobbes sebenarnya
telah menyingkapkan dua hal paling purba, dua hal paling naluriah,
paling manusiawi, sekaligus juga paling fundamental yang telah selalu
bermukim di dalam diri kita semua manusia, yaitu: 1) hasrat (desire), dan 2) kuasa (power).
Dua dorongan manusia paling purba, paling
naluriah, paling manusiawi ini ternyata juga memiliki dua karakternya
yang berbeda secara bersamaan: 1) karakternya yang destruktif, dan 2)
karakternya yang konstruktif. Hasrat untuk terus melangsungkan hidup,
terus menguasai sumber-sumber daya kehidupan dan terus mendapatkan lebih
demi keamanan dirinya mendorong seseorang untuk berhadap-hadapan dengan
orang lainnya, berkompetisi dengan setiap orang lain. Kompetisi adalah
hasrat dasar dibalik seluruh proses gerak ekonomi. Kompetisi
memungkinkan seseorang untuk menundukkan dan mengalahkan orang lain,
yang dengannya terbentuklah proses kuasa dan saling menguasai (pakta dominasi).
Di titiknya yang terjauh, kompetisi mendorong seseorang untuk melakukan
satu hal yang sebenarnya juga sangat purba dan alamiah (telah menjadi
bagian dari cara kerja alam), yaitu: membunuh menghabisi hidup nyawa
orang lain dan makhluk lain. Inilah karakter destruktif hasrat dan kuasa
manusia, sekaligus juga karakternya yang paling purba dan naluriah.
Tetapi Hobbes juga menyadari bahwa
masyarakat tidak mungkin terbentuk di atas dasar dorongan destruktifnya.
Pada batas tertentu setiap orang akan mencapai titik jenuh untuk saling
mendestruksi. Di titik jenuh kompetisi inilah setiap orang menyadari
bahwa masing-masing tidak mempunyai pilihan kecuali jika ia bekerja sama
dengan manusia lain untuk menciptakan tatanan ruang bersama yang stabil
dan dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Hasrat untuk bekerja sama
dengan manusia lain untuk sama-sama mempertahankan keberlangsungan
hidupnya inilah yang menciptakan adanya kontrak sosial. Kontrak sosial
dibentuk di atas dasar karakter konstruktif hasrat manusia untuk
menciptakan tatanan dan menjamin stabilitas.
Penjabaran Hobbes ini bukanlah suatu anjuran, bukan suatu resep/preskripsi normatif
mengenai hidup bersama. Hobbes tidak lain memperlihatkan secara
transparan anatomi sisi gelap diri manusia yang seringkali tidak kita
sadari dan juga tidak ingin kita ketahui. Dengan membongkar gelap
destruktifnya diri manusia Hobbes sebenarnya mengajukan satu hal yang
sangat penting dalam setiap teori politik, yaitu: bahwa tatanan sosial-politik dapat terbentuk bahkan di atas dasar gelap, rakus, khéwan dan degilnya manusia.
Artinya, manusia sebetulnya tidak
memerlukan justifikasi ilahi-metafisik atau landasan yang sungguh suci
sempurna untuk memulai hidup bersama. Manusia dapat memulai, membangun,
dan menjamin tatanan hidupnya persis justru karena ia adalah manusia
yang akan selalu memiliki sisi gelapnya. Di kegelapan itu terpendamlah
hasrat menggebu yang tanpa ampun untuk menguasai, hasrat untuk terus
melangsungkan hidup dan kemakmurannya sendiri. Kejeniusan Hobbes
terletak pada kenyataan bahwa ia dapat menunjukkan bagaimana hasrat
egois anti-sosial manusia (yang ada dalam diri kita semua) ternyata
dapat membawa pada hasrat politis untuk membentuk tatanan sosial
bersama. Singkatnya, sosialitas tatanan hidup manusia ternyata dibentuk
oleh hasrat anti-sosial dan hasrat egoistik-libidinalnya yang tergelap.
Tatanan sosial-politik manusia yang
terhormat dan bermoral itu ternyata awalnya dibangun di atas dasar
ketakutan manusia sendiri akan hasrat dirinya sebagai kawanan
khéwan-khéwan rakus yang dapat membinasakan bahkan dirinya sendiri.
Inilah sebuah realisme politik yang apa adanya, realisme politik yang
menolak semua kemunafikan moralistik-legalistik yang cenderung
menyamarkan hasrat gelap terpendam manusia. Di balik realisme politik
itu berdiri sebuah tesis dasar mengenai syarat paling purba dari setiap
tatanan politik: hasrat dan kuasa.
Pertanyaannya kemudian, apa perlunya repot-repot membaca dan memahami seorang filsuf penyendiri perantau yang hidup hampir empat abad lalu?
Jika kita mencoba membaca suasana-batin
masyarakat kita, khususnya mereka di daerah-daerah rural, kawasan
pinggiran kota, kawasan pegunungan dan pesisir, yang sering kurang
diperhatikan, sebetulnya masyarakat telah lelah dengan segala tontonan
para politisi, para birokrat, para akademisi, para pemimpin yang
sebenarnya mempertontonkan persis apa yang telah dilukiskan dengan tepat
oleh Hobbes, yaitu: menyamarkan hasrat gelap mereka untuk melangsungkan
hidup dan kekuasaannya sendiri di dalam bahasa-bahasa
moralistik-legalistik yang seolah-olah terurai tertata rapi apik.
Dalam apik rapi terdidiknya bahasa para
pemimpin kita itu, mungkin kita dapat menerka adakah hasrat kuasa dan
hasrat cari untung sendiri yang menggebu di dalamnya? Apakah
jangan-jangan mereka para pemimpin, yang melalui mekanisme
kontrak-sosial yang disebut demokrasi, sebenarnya telah memperoleh
kepercayaan rakyat (kita semua) untuk menjamin tatanan hidup
sosial-politik di Republik Indonesia, ternyata di kegelapan ruang
batinnya tak lebih dari pemburu-pemburu rente (khéwan-khéwan yang gemar
menerkam di kegelapan) yang tidak lain adalah kawanan rakus yang
anti-sosial, anti-politik, dan anti-republik?
Dimana-mana di penjuru Republik ini kita
melihat bagaimana proses kontrak-sosial yang kostruktif yang dinamakan
demokrasi itu ternyata diperkosa dinodai oleh apa yang di media-media
massa disebut sebagai ‘politik uang’. Apa yang sering kita lupa adalah
politik uang itu digerakkan oleh mekanisme hasrat gelap diri manusia
yang pada gilirannya kemudian akan menghancurkan ruang politik publik
(res-publica) dan melumat ruang hidup bersama. Uang, di masa setelah
bubarnya sistem sosialisme dan komunisme, menjadi kodifikasi universal
dari satu-satunya sistem ekonomi-politik yang kita kenal sekarang:
kapitalisme. Dan peredaran uang itu tidak lain dijamin oleh mekanisme
produksi dan re-produksi yang tidak lagi terbatas pada tingkat komoditas
riil, melainkan telah merembes ke tingkat yang paling pribadi dari
manusia: hasratnya. Uang telah menjadi satu-satunya ukuran berhasil atau
tidaknya hidup seseorang. Uang telah menjadi kuantifikasi hasrat
pribadi manusia yang kualitatif. Dan hasrat-akan-uang itu kemudian
bergerak menyamarkan dirinya dalam khotbah-khotbah mulia mengenai
motivasi-diri, mengenai pencitraan-diri para tokoh yang semakin
meng-inflasi pandangan masyarakat mengenai moralitas dan politik yang
sehat.
Tidak ada yang sesat di dalam uang, sebab itulah representasi wajah asli manusia
yang menampakkan hasratnya yang menggebu-gebu. Uang menjadi sesat saat
ia menjadi politisasi atas hasrat-akan-uang. Uang menjadi sesat saat ia
perlahan-lahan mulai menggerogoti sampai keropos tatanan sosial-politik
yang seharusnya dapat menjamin stabilitas kontrak-sosial (demokrasi).
Uang menjadi sesat saat ia (uang) merembes ke dalam transparansi proses
politik publik lewat agen-agen uang yaitu para khéwan pemburu rente.
Pada titik ini, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk melihat
bagaimana suatu tatanan politik perlahan kembali jatuh ke dalam
kompetisi hasrat dalam bentuknya yang purba: masyarakat yang mulai
saling membinasakan diri dan sesamanya.
Kita dapat berkata bahwa efisiensi sistem
adalah penyelesaiannya, atau bahwa Indonesia memiliki lembaga KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) yang akan memberangus para pemburu rente
yang telah bersenyawa dengan para birokrat-politisi. Tetapi semua itu
adalah penyelesaian (solusi) yang bersifat sistematik, legalistik, dan
rasional. Apa yang sering terlupakan adalah fakta bahwa manusia
(masing-masing kita) juga digerakkan oleh dorongan-dorongan hasrat yang
irrasional dan seringkali liar. Tidak ada satupun sistem di jagad raya
ini yang dapat sepenuhnya mengendalikan gerak (energeia) daya/kekuatan
gelap yang bekerja di balik proses alam (dari tsunami, gempa bumi,
letusan gunung, dll). Untuk manusia, daya gerak yang gelap dan sering
kita sembunyikan itu tidak lain adalah hasratnya. Tidak ada sistem
kontrak-sosial manapun yang dapat sepenuhnya mengendalikan daya gerak
hasrat manusia. Ini artinya, solusi-solusi sistematik-legalistik seperti
sistem hukum atau sistem trias politica tidak dapat sepenuhnya
selamanya menjamin keberlangsungan tatanan hidup bersama. Sebabnya tidak
lain karena sistem itu sendiri digerakkan oleh hasrat manusia, dan oleh
karena itu juga dapat menjadi sarana untuk menyembunyikan atau
melipatgandakan hasrat-hasrat gelap manusia.
Dalam Leviathan Hobbes berhasil
menunjukkan satu syarat penting dari terbentuknya tatanan
sosial-politik: manusia-manusia, yang seringkali putus asa dan
seringkali juga berubah buas, hanya akan dengan sukarela menyerahkan
sebagian kebebasannya dan menyediakan dirinya untuk diperintah serta
dipimpin, jika dan hanya jika ia (mereka) yang diberi kepercayaan untuk
menjamin kontrak sosial dapat sungguh-sungguh memanfaatkan kepercayaan
itu untuk menciptakan/mempertahankan stabilitas tatanan hidup bersama.
Artinya, manusia hanya bersedia dikuasai oleh kekuatan yang memang lebih
superior dari dirinya sendiri. Tanpa jaminan itu, tatanan berubah
menjadi perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes).
Dalam konteks Indonesia modern, kekuatan
superior yang dapat menjamin tatanan hidup bersama itu tidak lain adalah
Negara berikut sistem pemerintahan (struktur) dan para pemimpinnya
(agen). Jika sistem pemerintahan (juga sistem hukum) adalah struktur
normatif-legalistik yang memberi kaidah-kaidah hidup bernegara, maka
para pemimpin adalah agen/subjek pelaku politik di tingkat struktural
yang melegitimasi seluruh struktur sosial-politik. Tanpa legitimasi para
subjek politik ini, seluruh legalitas kehilangan daya gebrak dan
efektivitasnya.
Legitimasi politik yang mampu
memfungsikan secara efektif seluruh struktur legal Negara hanya dapat
muncul dari kemampuan para pemimpin untuk mentransformasi hasrat
destruktif mereka untuk cari selamat sendiri ke dalam hasrat konstruktif
untuk menciptakan tatanan politik yang sehat-transparan. Dalam sebuah
struktur Leviathan yang diharapkan dapat menjamin kontrak sosial, pada
batas tertentu masyarakat menantikan adanya subjek pelaku politik yang
dapat mengambil tanggungjawab. Tanpa jaminan ini kedaulatan bergeser
perlahan-lahan ke dalam kekacauan dan kebinasaan.
Mengikuti apa yang telah dikatakan
Hobbes, sistem kontrak sosial yang muncul sebagai bentuk representasi
dan otorisasi kekuasaan rakyat dalam sosok para pemimpinnya akan dengan
sendirinya berhenti berfungsi sebagai kontrak sosial jika para
pemimpin/pelaku politik tidak lagi dapat menjamin keselamatan dan
keberlangsungan hidup rakyat yang dipimpinnya. Pada batas ini, hasrat
konstruktif untuk memulai hidup bersama lewat sistem kontrak sosial yang
disebut demokrasi akan dengan sendirinya berubah kembali menjadi hasrat
destruktif untuk membinasakan orang lain demi keselamatan sendiri.
Inilah kondisi asali (status naturalis/state of nature) yang akan selalu
mengintai di batas terjauh segala tatanan sosial-politik. Pada titik
ini Carl Schmitt, yang setia meneruskan realisme politik Hobbes, benar
ketika mengatakan bahwa pada akhirnya: Kedaulatan adalah ia yang di atas
segala pengecualian mampu memutuskan (Souveränität ist, wer über den
Ausnahmezustand entscheidet).[iii] ***
[i] Thomas Hobbes, Leviathan, translated
with an Introduction by C. B. Macpherson (Penguin Books, 1974), part I,
chapter 11, pp. 160-161.
[ii] Ibid., p. 161.
[iii] Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Theory of Sovereignty (Cambridge: MIT Press 1986), p. 5.
[ii] Ibid., p. 161.
[iii] Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Theory of Sovereignty (Cambridge: MIT Press 1986), p. 5.
[Naskah perkuliahan untuk Angkatan Pertama PCR UNHAN; Oleh Ito Prajna-Nugroho]
Ilustrasi Gambar oleh H. Margiott untuk Lingkar Studi Terapan Filsafat.
Naskah dimuat juga di “Jayapura Phenomenology Circle (JAPHEC) Official Site”.