Senin, 24 Agustus 2015

Dari Papua - Indonesia : Filsafat Fenomenologi Politik dan Hakikat Kepemimpinan

Perkenalan saya dengan fenomenologi adalah ketika menempuh studi di Universitas Pertahanan Indonesia. Dalam satu program studi yang jarang diberikan tapi mendasar saya mendapatkan mata kuliah Philosophy of Peace and Conflict Resolution (PCR UNHAN). Tajam dan jernihnya kuliah-kuliah yang diberikan oleh Prof. Franz Magnis-Suseno, Romo Setyo Wibowo, dan abang Ito Prajna-Nugroho, semuanya sangat menggugah saya untuk mendalami filsafat khususnya fenomenologi yang dibawakan oleh bang Ito Prajna.
Semangat untuk menyebarkannya walau dengan pengetahuan yang terbatas adalah saat diskusi-diskusi intensif bersama bang Ito Prajna-Nugroho di sebuah café 24 jam di bilangan Sarinah, di tengah hiruk pikuk hasrat dan lalu lalang manusia di Jakarta Pusat.
Saya menyadari bahwa motif saya untuk mendalami fenomenologi adalah mendalami fenomenologi sebagai alat berpolitik (Buku Fenomenologi Politik – Membongkar Politik Menyelami Manusia). Karena itu tidak salah ketika saya katakan bahwa di Jayapura kami akan membangun gerakan fenomenologi dengan ‘gaya jalanan’ atau “phenomenology on the street”. Istilah tersebut pertama kali secara resmi terlontar pada bedah buku Fenomenologi Politik (Fenopol) karya bang Ito Prajna-Nugroho di Universitas Indonesia bersama Dr. Donny Gahral Adian pada 26 Mei 2014.
Dari proses-proses tersebut (diskusi di kelas PCR Unhan dan di Sarinah) akhirnya terpikirkan membangun sebuah gerakan fenomenologi di Papua, yang dinamakan dengan Jayapura Phenomenology Circle (Japhec), pada tanggal 8 April (persis dengan tanggal dan bulan lahir bapak fenomenologi). Saya pikir ini adalah sebuah apresiasi yang tidak berlebihan kepada Husserl.
Hampir sebagian besar teman-teman yang tergabung dalam Japhec adalah kader, pengurus atau simpatisan dari Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GEMAPI), sebuah organisasi kepemudaan non-partisan yang bertujuan mengembangkan bakat dan kepemimpinan generasi muda (mahasiswa). Maka dengan memperkenalkan fenomenologi saya berharap bisa membantu mengembangkan organisasi ini dengan didahului oleh perubahan pola pikir kader dan pengurus.
Menerapkan filsafat dan metodologi fenomenologi dalam kepemimpinan sangat menarik. Ini adalah fenomena tersendiri. Dalam pengalaman saya, dengan menggunakan fenomenologi sebagai alat bantu mendidik kader, proses transformasi yang terjadi pada kader sangat luar biasa. Tidak hanya teman-teman dekat yang menyaksikan perubahan tersebut tapi kader yang bersangkutan juga mampu memaknai proses perubahan yang sedang berlangsung pada dirinya. Perspektif fenomenologi membantu saya mendorong kader untuk mengalami sendiri. Kader juga semakin bertanggungjawab, yakni mau mengakui berbagai responnya terhadap situasi hidup nyata sebagai responnya sendiri. Seorang yang bertanggungjawab atas dirinya akan mampu berkata: “Saya adalah Saya!”.
Setiap kader bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Setiap kader didorong untuk mengendalikan jiwanya. Banyak masalah di dunia ini diciptakan oleh orang-orang yang tidak mampu mengendalikan diri dan memproyeksikan atau melemparkan permasalahannya pada orang lain. Mengendalikan diri berarti menentukan batas-batas perilaku ekspresi diri sendiri. Sifat-sifat positif seseorang merupakan kontribusi yang sangat baik bagi kehidupan. Namun, bila sifat-sifat itu dipaksakan melampaui batas atau berlebihan, maka akan menjadi beban bagi dunia sekitarnya.
Kader menjadi lebih sadar untuk mempergunakan karunia-karunia yang dimiliki bagi kesejahteraan orang lain. Seseorang yang tidak mengenal batas dalam memuaskan keinginannya akan terus-menerus iri mendengki pada apa yang dimiliki oleh orang lain. Pengalaman yang saya alami juga yakni dengan menggunakan metode reduksi fenomenologi (epoché) kita menjadi semakin bersikap sadar, cermat, dan berhati-hati tanpa terjebak dalam jebakan negative thinking. Untuk menghargai pengalaman yang dialami, kami sepakat Kos tempat tinggal salah satu teman Japhec disepakati sebagai Epoché Room.
Fenomenologi juga sejalan dengan hukum kepemimpinan yakni hukum intuisi. Hukum intuisi adalah hukum tersulit dari seluruh prinsip fenomenologi dan hukum kepemimpinan. Kelebihan metode ini adalah membantu kader untuk benar-benar fokus pada panggilan (keterarahan/intensionalitas) hidup. Fenomena yang nampak adalah mereka mulai menata kembali jadwal aktivitasnya dan mengurangi agenda pribadi yang sifatnya jalan-jalan dan refreshing. Ini tidak berarti hidup mereka jauh dari refreshing, tetapi memadukan kehidupan organisasi, panggilan hidup, dan refreshing sekaligus. Dengan kata lain mencoba untuk mengefisienkan dan mengefektifkan gerakan.
Peningkatan intensionalitas berarti semakin terarahnya atau semakin disadarinya perilaku kader. Hal ini meliputi pemahaman akan berbagai motifasinya yang terdalam. Kader menjalani kehidupan dengan tingkat kesadaran yang sangat tinggi sehingga mampu mengenali akibat positif atau negatif yang ditimbulkannya terhadap orang lain. Kader menjadi lebih mampu mengendalikan gerakan-gerakan tersembunyi yang berlangsung di dalam jiwa atau batinnya.
Setiap kader membutuhkan waktu untuk mengenali dirinya agar mencapai keseimbangan sehingga mampu mengatasi tekanan dan permasalahan hidup dengan lebih baik. Kader menjadi lebih sering mendengarkan apa yang berlangsung di dalam dirinya, sehingga mampu mengatur proses-proses yang berlangsung di dalam dirinya serta memberikan respons yang lebih efektif terhadap situasi kehidupan.
Fenomenologi menantang setiap kader untuk menguasai keterampilan mengintervensi proses-proses pembentukan kesadaran di dalam dirinya. Mengintervensi proses-proses pembentukan kesadaran di dalam diri seseorang akan menjadikan dirinya lebih efektif dalam menghadapi tugas dan tanggung jawab. Dengan pendekatan fenomenologi di GEMAPI, para kader juga semakin menyadari pentingnya persahabatan. Hal-hal sederhana yang termasuk dalam everday lifeworld seperti sms, telpon, dibahas lalu dianalisis apa dasarnya dan kemana arahnya. Atau misalnya mantan pacar yang ajak balik juga ditanggapi dengan cara yang tak biasa tetapi dengan melihat apa dasar di belakang fenomena itu. Setiap orang berada dalam jalinan relasi, pertama-tama relasi dalam dirinya sendiri dan kemudian relasi persahabatan dengan orang lain. Setiap orang tidak akan bisa menjalin persahabatan secara bermakna seandainya ia belum mamahami, menerima, dan menghargai dirinya sendiri serta bergulat dengan dirinya sendiri sebelum menjalin persahabatan dengan yang lain. Hanya bila orang merasa aman dengan dirinya sendiri, maka ia akan mampu mengembangkan hubungan yang bermakna dan langgeng dengan yang lain.
Dengan pendekatan fenomenologi Kader GEMAPI menjadi sadar pentingnya berkomunikasi dengan dirinya sendiri: apakah berpikir saya sudah lurus? Apakah pribadi saya punya integritas? Sudah jernihkah saya membaca fenomena? Sudah benarkah langkah perjuangan saya? Sudah tepatkah saya menempatkan diri dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan?
Dalam perjalanan GEMAPI dan juga Japhec, saya menyadari bahwa untuk menyebarluaskan gerakan fenomenologi secara lebih efektif adalah dimulai dengan diri sendiri. Jika kita mampu mengubah diri kita, orang disekitar kita akan mudah berubah. Lakukan perkara kecil terlebih dahulu, maka kepadamu akan dipercayakan perkara-perkara besar. Japhec dalam proses pergumulan fenomenologi mengerti bahwa bekerja dengan siapa lebih penting daripada mengerjakan apa. Ini menurut kami bukanlah sebuah arogansi, melainkan pemahaman yang mendalam bahwa jika kita ingin menjadi rajawali, kita harus bergaul dengan rajawali, bukan dengan burung beo! Dan pergaulan tersebut haruslah intens.
Ada istilah yang dikembangkan oleh Japhec, yakni membedakan antara membaca/melihat dengan rasio instrumental belaka (untuk menjelaskan apa yg dimaksud oleh bang Ito Prajna sebagai pemahaman gampang-gampangan atau natural attitude) dan membaca dengan intuisi (untuk menjelaskan apa yg dimaksud oleh bang Ito Prajna sebagai pemahaman cermat atau phenomenological attitude).
Saya duga, saat Husserl mengajar, banyak mahasiswa yang tertarik tetapi hanya tertarik pada fenomenanya saja (cara mengajarnya) bukan dasarnya (apa yang diajarkan). Heideger adalah salah satu mahasiswanya yang mencoba memahami kuliah-kuliah Husserl dengan Intuisi. Dengan menyaksikan misalnya Heideger dan Freud menjadi pemikir besar maka Husserl telah berhasil untuk memprovokasi mahasiswanya untuk mengembangkan fenomenologi.
Mungkin saja Husserl dan Heideger tidak hanya berhubungan sebatas mahasiswa dan dosen atau dosen senior dan asisten dosen tetapi bisa jadi keduanya adalah sahabat dekat.
Epoché menurut Japhec adalah sebuah upaya mengendalikan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu adalah salah satu hasrat yang jika tidak dikendalikan bisa berbahaya. Misalnya ketika kita mengetahui bahwa ada orang yang membicarakan kita (menjelek-jelekan kita), kita menjadi berhasrat untuk mengetahui siapa orang tersebut. Hal ini bisa berujung pada semakin buruknya hubungan kita dengan orang tersebut. Dengan mengendalikan rasa ingin tahu, kita menjadi terfokus pada apa yang dikatakan, sehingga jika apa yang dikatakan itu perlu dan baik bagi kita, kita lakukan. Jika kita sudah melakukannya, ada harapan orang yang tadi menjelek-jelekan kita menjadi baik kembali sebab apa yang tdk disukai olehnya sudah kita ubah. Dan kita berubah bukan karena demi tidak memiliki musuh, tetapi justru karena kita bertindak adil bagi diri kita (Platon nya A. Setyo Wibowo, SJ). Dengan sendirinya dengan ber-epoché kita melakukan perawatan jiwa.
Sambutan saya pada pembukaan latihan kader I GEMAPI angkatan V pada september 2014, saya beri judul merawat Jiwa GEMAPI. Bagaimana merawat jiwa GEMAPI, dimulai dengan merawat jiwa para pemimpin tertinggi pada GEMAPI. Transformasi sosial tidak mungkin terjadi tanpa transformasi pribadi. Dalam sejarah kita menyaksikan banyak orang yang tidak mampu mengendalikan perilaku kompulsif. Banyak kehidupan dikorbankan akibat perilaku kompulsif mereka yang tidak mampu mengendalikan diri. Banyak pemimpin yang bertindak seperti Tuhan: tidak menghormati martabat pengikutnya. Bilamana para pemimpin tidak menjunjung martabat seorang pribadi melebihi prinsip, idiologi, atau visi mana pun, maka masih akan terus terjadi dehumanisasi (buku Fenomenologi Politik – Membongkar Politik Menyelami Manusia, Bab 4).
Akhirnya, mungkin terlalu muluk, tapi kami ingin bermimpi yang sedikit gila, bahwa Japhec ingin fenomenologi menjadi modus vivendi dan horizon Lebenswelt bagi sebanyak mungkin orang yang bisa tersentuh tergerak oleh Japhec.
Jayapura – Indonesia
14 Agustus 2015
Jayapura Phenomenology Circle (JAPHEC), atas nama perwakilan Japhec, Habelino Sawaki

Sumber : http://terapanfilsafat.com/dari-papua-indonesia-filsafat-fenomenologi-politik-dan-hakikat-kepemimpinan/